Bab 4 - Mengunjungi Kaki Gunung Salak

64 13 4
                                    

Seperti yang sudah disepakati sebelumnya, Icha dan Bu Ajeng pagi ini telah bersiap untuk mendatangi sebuah kawasan yang berada di kaki Gunung Salak, Bogor. Untuk menghindari kecurigaan sang suami, baik Icha maupun Bu Ajeng bersepakat memulai terapi saat Pampam berdinas keluar kota.

Dengan di antar sopir, sebuah mobil sedan keluaran terbaru berwarna hitam tampak melaju dengan tenang di jalan Tol Jagorawi. Kepadatan lalu lintas pagi yang mengarah ke Bogor cukup nyaman untuk dilalui, sangat berbeda kondisinya dengan yang mengarah ke Jakarta. Anteran kendaraan di dalam tol tampak mengular dan seakan tak ada putusnya.

Sepanjang perjalanan Icha tak banyak berkata-kata, dirinya tengah berjuang untuk menenangkan diri sekaligus menyiapkan mental untuk memulai terapi. Bagaimana pun, jika bukan karena desakan Bu Ajeng, dia tak akan mungkin sampai berani mengambil sebuah tindakan penting tanpa sepengatahuan dan restu sang suami.

Mata Icha nanar menatap ke luar jendela mobil, Gunung Salak dan Gunung Gede yang tak tertutup kabut tampak begitu gagah menjulang dari sisi kanan mobil. Sinar mentari pagi terlihat menyirami tubuh kedua gunung itu.

"Bagaimana bisa gunung yang tampak indah itu, menyimpan segudang misteri?" pikir Icha yang tak sedikit pun bermaksud mengalihkan pandangan matanya kea rah Gunung Salak.

Berita-berita yang banyak beredar, termasuk kejadian-kejadian aneh yang dialami para pendaki dan tim evakuasi korban kecelakan pesawat di Gunung Salak sedikit banyak berperan menguatkan kesan mistis itu.

Mobil yang ditumpangi Icha dan Bu Ajeng memperlambat lajunya saat memasuki sebuah halaman rumah yang terbilang cukup luas. Banyak mobil berpelat nomor luar kota Bogor yang berjajar rapih di parkiran, para pasien yang hampir sebagian besar wanita pun tampak berkerumun di ruang tunggu pasien.

"Selamat pagi, Mba, apa benar ini tempak praktek Aki Salim?" tanya Bu Ajeng kepada salah satu wanita yang duduk di meja pendaftaran.

"Benar, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" jawab sang petugas ramah sambil balik bertanya.

"Eh ini, menantu saya akan daftar untuk ikut program terapi Aki Salim agar bisa mendapatkan momongan," tanpa tedeng aling-aling, Bu Ajeng mencoba menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Setelah mengisi beberapa data yang dibutuhkan, sang petugas meminta Bu Ajeng dan Icha duduk menunggu, sampai namanya akan dipanggil untuk masuk ruang terapi. Tak banyak kata yang terucap, Icha hanya menatap ke sekitarnya. Tanpa disadari sebuah senyum mengembang di wajah Ayu Icha, kala dia melihat seorang anak kecil yang duduk di samping sang ibu.

Angannya mengembara, seandainya saja begitu menikah Tuhan izinkan dirinya mengandung, tentu saat ini anaknya telah seumuran dengan anak lelaki yang duduk tak jauh dari tempatnya. Lidah Icha semakin kelu, air mata hampir saja menetes seandainya suara petugas pendaftaran tak kunjung terdengar memanggil namanya.

"Ibu Icha, silahkan masuk ke ruang pemeriksaan!" pekiknya.

Dengan dada yang semakin deg-degan, ditemani sang mama mertua Icha mencoba menguatkan kakinya untuk melangkah memasuki sebuah kamar yang disebut petugas pendaftaran sebagai ruang pemeriksaan. Dilihat sepintas tak ada yang aneh dari ruangan ini, terdapat sebuah meja konsultasi dengan tiga buah kursi yang saling berhadapan. Tak jauh dari meja tersebut juga terdapat sebuah ranjang besi dengan kasur busa tipis di atasnya.

Setelah sedikit berbasa-basi, Aki Salim meminta Icha untuk naik ke atas ranjang untuk dilakukan pemeriksaan awal. Dengan sangat meyakinkan Aki Salim mengutarakan bahwa sebelum masuk ke tahap terapi yang sebenarnya, harus dilakukan pembersihan aura terlebih dahulu kepada diri Icha. Masih menurut penuturan Aki Salim, diyakini ada bangsa jin yang bersembunyi dalam rahim, sehingga selama apapun Icha menunggu selama jin itu belum dibersihkan maka dirinya akan sulit untuk hamil.

Merindu Amanah-Mu (TELAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang