Bab 3 - Merajut Perdamaian

78 18 18
                                    

Sebuah senyum penuh kemenangan tergambar jelas di wajah Bu Ajeng kala dia berjalan masuk meninggalkan sang menantu seorang diri di meja makan. Tekadnya sudah bulat, jika sikap dan pendirian Pampam tak bisa dirubah, maka dirinya akan merubah keyakinan Icha. Tak aka nada seorang laki-laki pun yang bersedia menua tanpa hadirnya sang penerus generasi.

Sejumlah rencana telah disusun, termasuk mengumpulkan informasi tentang pengobatan alternatif di sekitar Jabodetabek. Meski sudah bertahun-tahun tinggal di Jakarta, tak serta merta merubah sudut pandang Bu Ajeng untuk percaya hanya kepada penanganan medis.

Sejengkel apapun Bu Ajeng kepada sang menantu, tetap saja dirinya masih berharap Icha bisa mengandung dan melahirkan anak dari Pampam. Dirinya tak ingin jika trah keluarga akan terputus saat sang putra tunggal tak memiliki keturunan.

Setelah mencoret beberapa nama kandidat ahli pengobatan, pada akhirnya pilihan Bu Ajeng jatuh kepada salah satu orang yang membuka praktek pengobatan alternatif di Bogor. Klinik itu tak memiliki alamat web, tetapi dari postingan yang muncul di beranda banyak pengguna sosial media, tampak sangat menyakinkan bahwa Aki Salim adalah orang yang tepat.

Hampir sebagian besar unggahan di beranda menyatakan bahwa setelah rutin melakukan terapi, para istri yang sudah menikah selama bertahun-tahun akhirnya bisa hamil dan melahirkan. Bu Ajeng tampak tak sabar untuk kembali menemui Icha dan mengutarakan apa yang menjadi idenya kali ini.

"Icha tak boleh sampai menolak rencanaku, karena aku sudah sangat ingin menimang cucu dan umurku pun sudah semakin renta!" gumam Bu Ajeng sambil bergegas keluar kamarnya.

Sebuah kamar yang tampak begitu luas dan nyaman. Beberapa perabotan dari ukiran kayu jati pun tertata apik di sudut-sudut kamar, menambah kesan etnik pada rumah yang berada di jantung Ibu Kota. Bagi Bu Ajeng, dimana pun dirinya berada, mempertahankan seni budaya jawa yang adi luhung menjadi sebuah keharusan.

Gebyok berukuran besar, terbuat dari kayu jati pilihan yang sudah berusia ratusan tahun begitu sempurna menjadi partisi yang memberikan privasi lebih besar kepada sang penghuni. Jendela-jendela berukuran besar pun mampu membuat sirkulasi udara dalam kamar tetap terjaga dengan baik.

"Icha ... kamu dimana?" suara Bu Ajeng lantang, memenuhi hampir setiap sudut rumah.

Icha yang sedang mencoba mengalihkan rasa nyeri yang dialami dengan berkeliling taman, menikmati keindahan bunga anggrek bulan dengan kelopak bunganya yang mekar sempurna seketika menjadi salah tingkah kala mendengar Bu Ajeng memanggil namanya. Dengan perasaan tak menentu, Icha bergegas kembali ke dalam rumah untuk menghampiri sang mertua.

"Iya, Ma," jawab Icha singkat sambil mencoba mengatur kembali napasnya yang sedikit terengah kala dirinya berlari menghampiri Bu Ajeng.

"Lihat ini, ada klinik pengobatan alternatif yang telah berhasil membantu puluhan pasangan suami istri yang tak kunjung dapat momongan!" ujar Bu Ajeng antusias sambil menyodorkan ponsel yang berada di tangannya.

Mendengar kata-kata yang begitu saja meluncur dari mulut Bu Ajeng, dada Icha terasa begitu sesak. Paru-paru pun seolah begitu sulit untuk menghirup udara dan memompanya ke seluruh sel dalam tubuh.

"Apa maksud Mama?" tanya Icha tak masih mengerti kala dirinya mampu mengumpulkan sisa-sisa keberanian agar bisa sekedar bersuara.

"Kamu harus ikuti terapi pengobatan di klinik ini, Cha! Karena bukan hanya kamu, Mama juga sangat merindukan hadirnya tangis dan tawa anak-anak di rumah ini. Sudah cukup lama rumah ini terlalu sepi!" dengan mata yang berbinar-binar Bu Ajeng mencoba menjelaskan apa yang menjadi rencananya.

Icha terdiam untuk beberapa saat, mencoba mencerna perubahan sikap sang mertua yang begitu tiba-tiba ditambah dengan hal tak masuk akal yang baru saja terlontar dari mulut sepuhnya. Alih-alih jelas, pikiran Icha justru semakin tak mengerti dengan situasi yang sedang dihadapi.

Merindu Amanah-Mu (TELAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang