"Ada bagian lain yang sakit?" tanya Pria itu lagi ketika melihat Viena sudah tersadar dari lamunannya.
"Eh, ah?" beo Viena. "Engga ada, thanks udah bantuin saya. Dan.. maaf tadi sempat ngumpat," ucap Viena begitu tak enak hati. Udah dibantuin malah ngumpatin orang, ya ga enak lah. Malu.
"No problem," balas Pria itu tersenyum tipis. "Mau naik duluan atau saya yang naik dulu?" tawar Pria itu yang merasa Viena tidak akan bisa naik tanpa bantuannya. Melihat pembatas parit ini saja akan sedikit susah digapai gadis bertubuh mungil darinya.
'Secara ga langsung dia bilang gua pendek, hngg~'
"Bagaimana baiknya saja," jawab Viena sedikit ketus kemudian memandang kearah lain dan mengundang dengusan geli dari pria jakung yang sepertinya memiliki tinggi hampir 180 cm ini.
Jika dibandingkan dirinya yang hanya berada diatas 160 bisa apa? Benar juga.
Pria berseragam khusus berwarna serba hitam dengan rompi dan celana serta desain yang diperuntukkan menyelipkan berbagai macam senjata dan peluru, mirip desain seragam pasukan khusus kepolisian. Hanya saja pakaiaanya tidak memiliki lambang.
Kini dirinya jongkok dihadapan Viena dan menepuk pundak kanannya yang membuat Viena mengernyit heran.
"Naik," ucap Pria itu ketika merasa dibelakangnya Viena masih bergeming.
"Saya berat. Jadi jangan salahkan saya kalau pundakmu bermasalah nantinya," ucap Viena acuh tak acuh kemudian berhasil naik dengan sekali percobaan.
Setelahnya, pria itu menyusul dan ikut merapikan pakaiannya dari debu dan menghentak-hentakkan sepatunya yang berhasil diresapi air parit. Walaupun tidak terlalu keruh, tapi tetap saja air parit mengandung banyak bakteri menjijikkan.
"Aku bahkan tidak merasakan tubuhmu sudah naik di pundakku, Nona," ucap Pria itu ketika sudah berdiri tegap menghadap Viena yang masih merapikan rambutnya yang berantakan.
"Dan sepertinya kita seumuran, tidak perlu terlalu formal begitu," imbuhnya.
"Oh begitu? Ya, sepertinya. Dan untuk berat badanku, ku rasa kau terlalu hiperbola Tuan," Viena dengan berkacak pinggang balas menghadap.
Yang dituju hanya tersenyum tipis.
"Sendirian?" tanya Viena yang diangguki oleh pria itu. "Apa kau berfikir di sekitar sini masih ada yang seperti kita? I mean, masih berwujud manusia normal," sambungnya dengan celingak-celinguk mengamati sekitar showroom lagi.
"Maybe, kau sendiri mau kemana?"
"Mau cari kendaraan dulu. Soalnya aku dateng sama temen-temen, tapi mobilnya mogok. Maklum, ga halal," jawab Viena diakhiri kekehannya.
Suatu hal langka yang terjadi saat ini. Viena yang terbiasa berbicara formal kini beneran cepat berubah menjadi 'aku', bukan 'saya' lagi seperti biasanya.
"Boleh gabung?" tanya Pria itu menawarkan dirinya sendiri untuk bergabung bersama Daisy.
Viena terdiam dan menghentikan langkahnya untuk berbalik mengamati penampilan Pria tersebut.
Dari sepatu, tegap badan, postur tubuh, hingga wajahnya yang..
Ah tidak!
Viena POV
Sial! Kenapa wajahnya harus seperti ini? Sudah ku bilang, demi Dewa Bikini Bottom aku tidak akan tertarik.
Anggap saja benar adanya, wajahnya hanya terasa familiar.
"Kau kenapa lagi?" tanya Pria ini. "Kau sudah dua kali tertangkap basah menikmati wajahku, Nona."
Oh god! Jangan bilang pipiku bersemu juga seperti yang di drama-drama favorit Dara, teman ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAZ Apocalypse
HorrorSebuah konspirasi besar yang timbul dari rasa iri dan dengki menjadi titik awal munculnya sebuah virus tak manusiawi. Wabah mengerikan ini seolah menjadi penguasa Indometrica dan berpusat di Royal District, suatu lingkaran wilayah yang menyimpan ban...