⏭ third page

480 86 11
                                    

Bersepeda sore hari di pinggir Han River adalah sesuatu yang jarang Yedam lakukan. Bahkan meski gedung apartemennya cukup dekat dengan Han River. Biasa, sok sibuk.

Tapi, khusus hari ini, Yedam sedang ada di fase freetime. Jadi, ia memutuskan mencoba kegiatan yang jarang dilakukannya.

Tadinya, ia mengajak Doyoung. Tapi, anak itu ada jadwal dan pulang saat matahari terbenam nanti. Karena keburu hujan, ya sudah, Yedam pergi sendiri.

Langit sedang tidak secerah siang tadi. Ada awan kelabu yang menyelimuti kota Seoul. Yedam tidak terlalu peduli sih. Selagi air hujan belum jatuh ke bumi, kenapa tidak. Setidaknya Yedam jaga-jaga membawa jas hujan yang nyaman dipakainya saat bersepeda.

"Yah, pada akhirnya aku memilih berteduh juga sih." monolog Yedam sembari menatap langit yang kini gelap dan suara guntur saling bersahutan, masuk ke telinganya. Udara dingin juga sudah masuk sampai ke kulitnya. Jaketenya yang semula menghangatkannya jadi tidak berguna.

Ia sekarang sedang ada di bawah salah satu jembatan layang yang memang ada di dekat Han River. Sepedanya terparkir dengan jas hujan dalam tas khususnya menggantung di kemudinya. Yedam sendiri hanya terduduk di bangku yang memang ada di sana.

Jangan salah, kota Seoul adalah ibu kota maju yang tidak menjadikan bawah jembatan layang sebagai tempat tidak layak huni. Terlebih itu di dekat Han River yang tentunya banyak pengunjung tak hanya dari daerah lokal.

Yedam menghembuskan napasnya. Menggosokkan kedua tangannya untuk tetap menjaga suhu tubuhnya hangat. Menembus hujan adalah pilihan kurang tepat. Ia bisa jauh lebih kedinginan lagi jika hujan-hujan. Lagi pun, jarak pandangnya jadi terbatas.

"Hah, cepatlah berhenti." gumamnya sedih sambil menatap jalanan khusus pesepeda di depannya yang basah terguyur hujan.

Ia hanya menggabut tanpa ponselnya karena akan bahaya bermain ponsel di bawah hujan begini. Lagi pun, battery ponselnya akan segera habis. Lupa ia charge setelah seharian digunakan di kampus.

Setidaknya, sampai Yedam melihat sosok adik tingkat yang dikenalnya, Haruto, sedang berjalan pelan di bawah hujan dengan pandangan kosong yang menyiratkan laki-laki itu sedang memikirkan banyak hal.

Yedam segera berdiri dari duduknya. Mencoba mendekat pada Haruto tanpa harus ikutan basah di bawah hujan. Sungguh, Haruto dalam kondisi basah kuyup. Jeans hitam, jaket denim sewarna, dan kaus putih yang dikenakannya tidak bisa dibilang kering. Jelas kalau itu basah.

"Haruto! Apa yang kau lakukan?! Kau bisa sakit!" serunya karena suara hujan sangat mengganggu.

Tak ada sahutan. Bahkan Haruto tak tersadar dengan seruan Yedam. Ia tetap berjalan. Seolah di otak laki-laki Jepang itu hanya ada 'jalan', 'jalan', dan 'jalan'.

"Haruto! Watanabe Haruto!" panggil Yedam sekencang mungkin untuk membuat Haruto sadar akan keberadaan dirinya.

Dan berhasil! Haruto menggerakkan netranya perlahan untuk menoleh ke sumber suara. Ia bergeming saat melihat Yedam lah yang memanggilnya. Langkahnya terhenti begitu saja.

'Kenapa yang kupikikan malah muncul?' innernya kecewa.

"Haruto?! Kau mendengarku?! Kemarilah! Kau bisa sakit!" seru Yedam lagi.

Lalu setelahnya, secara ajaib, kedua tungkai jenjang Haruto bergerak mengambil langkah untuk mendekati Yedam.

Saat Haruto ada dalam jangkauan Yedam, Yedam segera menarik Haruto untuk ia bawa ke tempat yang jauhan dari air hujan. Ke dekat bangku ia duduk tadi sih. Dekat sepedanya juga.

Yedam lalu melepaskan jaket denim Haruto yang basah kuyup itu. Melepas jaketnya yang berbahan lebih hangat dan menyampirkannya di bahu Haruto. Berharap itu lebih baik meski jaketnya juga sudah cukup dingin. Setidaknya tidak sedingin jaket Haruto.

•The New Page• [ℎ𝑎𝑟𝑢𝑑𝑎𝑚] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang