~ 06

56.9K 1.4K 33
                                    

Kamu masih minum obat dari saya?" Pria itu sibuk dengan spatula dan teflon di tangan, membuat sarapan untuk mereka bertiga-sesuai permintaan Lethia.

Entah mengapa pukul lima pagi gadis itu merengek ingin dibuatkan sarapan oleh Jay. Mau tak mau karena tak tega Jay pun menuruti meski sebenarnya ia hanya bisa membuat omelette dan salad sayur. Setidaknya kekasihnya itu diam.

"Masih kok." Lethia memasukkan snack ke dalam mulutnya, mengunyah dan mengecap makanan ringan dengan rasa balado itu.

Jay mengangguk mendengarnya, Obat yang dimaksud adalah obat pencegah kehamilan. Status mereka pasangan kekasih, tidur dalam satu atap, dan saling menguntungkan. Jay adalah lebih enak di dalam. Ada-ada saja.

"Papa kamu nyariin?"

"Enggak."

Ia datang dengan tiga piring omelette serta salad sayur, meletakkannya di atas meja. Lethia tersenyum girang, bahagia ketika permintaannya dikabulkan oleh sang kekasih. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi, masih banyak waktu untuk menikmati makanan itu. Mereka berdua masih sama-sama mengenakan baju tidur, belum mandi.

"Kara, ayo makan, Sayang!" panggil Lethia dari depan pintu kamar Kara, anak itu tengah sibuk dengan berbagai macam mainan yang sudah tergeletak tidak beraturan di atas lantai.

Anak itu menoleh, senyumnya merekah mendapati wajah Lethia terpampang di sana. "Iya, Kakak!" jawabnya lalu berlari menuju meja makan.

Mereka makan disertai canda gurau, terutama Kara yang sedari awal terus mengoceh, menceritakan bagaimana teman sekolahnya hingga para guru yang sering menitipkan sebatang coklat untuk sang papa. Jay pun memperhatikan jikalau semenjak kehadiran Lethia dalam kehidupan mereka, Kara terlihat lebih bahagia.

Rasa masakan Jay enak, tapi ia meletakkan garpu serta sendok di atas piring. Mengamati cara makan Jay yang begitu lahap hingga beberapa remah telur menempel di bibir. Makannya telah habis, tapi ia tak kunjung sadar bahwa bibirnya kotor.

"Kamu makannya kayak anak kecil, belepotan."

"Cuma ke kamu saya kayak anak kecil."

Benar juga, ia pikir Jay itu sejenis pria dingin dengan tatapan datar atau yang jarang bicara. Namun, kenyataannya berbeda. Ia hanya tegas dan jarang tersenyum, di luar sana ia terlihat begitu dewasa selayaknya seorang pengusaha. Saat bersama Lethia, semuanya berubah. Jay seperti seorang remaja yang baru saja merasakan jatuh cinta, atau mungkin manja seperti seorang anak kecil pada ibunya.

"Cie ... Papa sama Kakak ini cocok, kenapa gak nikah aja biar Kara punya mama?"

Mereka berdua saling menatap, terkejut dengan ucapan anak sekecil Kara. Namun, di sisi lain Lethia sedikit tersipu ketika mendengarnya. Namun, Jay tak menanggapi, menganggap jika itu hanya ucapan asal anak berusia enam tahun saja.

"Kara udah selesai makan, mau main dulu, ya." pamitnya, mereka mengangguk.

"Laki-laki itu sudah gak ganggu kamu lagi, kan?" tanyanya pada Lethia untuk mencairkan suasana yang sempat canggung.

Lethia mengernyit ketika Jay menyebut laki-laki itu, pikirannya tertuju pada Arsen. Ya, ia ingat kejadian tadi di sekolah.

"Kamu ngapain ke Arsen?"

"Enggak ngapa-ngapain."

"Kok dia sampai sujud di kaki aku. Ceritain gak!"

"Gak penting."

"Penting, Jay!"

"Enggak. Males."

"Kalau kamu gak cerita aku marah."

Jay menyerah, tak mungkin membiarkan Lethia marah di jam segini. Bisa-bisa bobok tanpa dipeluk nanti. Ia mengingat kembali kejadian kemarin pagi. Saat Lethia pamit memasuki gerbang sekolah, dirinya memarkirkan mobil di tempat yang aman seraya menunggu kedatangan sang target.

Tak lama seorang anak laki-laki yang ditemuinya beberapa hari yang lalu muncul dari tikungan, kedua tangan masuk ke dalam kantong celana dan kedua telinga tersumpal earphone. Jay keluar dari mobil, menghadang anak itu.

Arsen mendongakkan kepala, menatap wajah Jay dan mengingat sesuatu.

"Anda yang waktu itu kan?"

"Jauhi Lethia dan jangan pernah mengganggu dia lagi atau hanya namamu yang akan tersisa."

Setidaknya itu yang ia ingat, Jay tak suka mengingat sesuatu yang memang tak penting. Lethia menatap nanar kekasihnya, bisa-bisanya melakukan hal seperti itu demi menjauhkan laki-laki pengemis cinta dari hidup wanita yang baru ditemui beberapa hari yang lalu.

"Gabut banget ya kamu sampai ngelakuin hal kayak gitu?"

"Saya gak suka ada laki-laki yang mendekati kamu terus."

"Kamu jatuh cinta ya sama aku?"

"Saya gak jatuh cinta!"

"Terus kenapa gak suka?"

"Eum, cemburu mungkin? Yang pasti saya gak jatuh cinta sama kamu dan gak akan pernah."

"Yakin?"

"Ya."

"Aku jamin suatu saat nanti kamu bakal cinta sama aku, liat aja deh nanti kamu bakal jadi suami aku."

"Ngelantur."

Kembali ke kegiatan awal, Jay tak berminat meladeni lagi ucapan Lethia. Ia tak suka membahas tentang asmara, cukup sekali ia patah hati dan tak akan pernah lagi jatuh cinta pada siapapun juga termasuk Lethia. Biarkan satu nama yang ada di masa lalunya menjadi satu-satunya pengisi ruang hati yang kosong.

Ia masih mencintai seseorang itu, bahkan sejak tujuh tahun yang lalu.

Saat ini statusnya sebagai kekasih seorang gadis SMA, hanya sekedar iba dan tempat melampiaskan rasa itu. Ia benar-benar tak suka dan tak akan pernah mencintai Lethia. Itu janjinya.

Namun, tak ada jaminan untuknya membekukan hati. Rencana Tuhan terkadang bertolak belakang dengan apa yang kita inginkan. Jay tahu itu hanya sebuah janji yang akan sekuat tenaga ia tepati, tapi ia juga tak mampu menolak takdir yang sudah Tuhan gariskan untuknya.

Jika ia jatuh cinta pada Lethia, itu bukan salahnya kan? Hatinya tahu ke mana ia akan berlabuh.

Gadis itu cantik, manis, lucu, dan seksi. Jay menyukainya.

"Kamu gadisku," bisiknya di telinga Lethia.

"Aku udah gak gadis, Om."

"Jangan panggil saya om atau sepuluh ronde."

"Eh-iya iya, Jay."

"Bagi saya kamu masih gadis."

"Ya udah iya, terserah kamu."

Lethia mengakhiri kegiatan makannya lalu meminum susu langsung dari botolnya. Sisa susu itu menempel di atas bibir membentuk sebuah kumis putih. Jay mendekatkan bibirnya, menghapus bekas itu dengan perlahan.

"Saya suka kamu."

Bahkan mulutnya saja mengutarakan apa yang tak ingin ia katakan.

"Hanya suka."

"Aku cinta sama kamu," balas Lethia.

Jadi Istri Tuan CEO (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang