~4

72.7K 1.7K 19
                                    

Kediaman Cadenvia

Rahardja Cadenvia, pria berusia empat puluh tahun yang kini menjadi pemilik resmi Cadenvia Group setelah kedua orangtuanya wafat. Satu-satunya pemilik saham setelah sang istri tiada, meski nanti semua itu akan ia berikan pada anak semata wayangnya. Itu pun jika ia tak berniat untuk menikah lagi. 

Kehidupan sehari-hari layaknya para pengusaha pada umumnya, pergi pagi pulang malam, menghabiskan waktu di kursi kebanggaan dengan berkas bertumpuk di atas meja. Selain itu ada kegiatan rutin yang dilakukan hampir setiap hari, mencari wanita untuk diajak melakukan hal seperti itu. Mau bagaimana lagi, dirinya juga seorang pria yang memiliki hasrat. 

Entah itu di kantor, di hotel, di mobil, atau di rumah. Yang terpenting ia mampu menyalurkan hasratnya. Jika saja si wanita hamil, maka dengan uangnya ia mampu menyuruh mereka untuk menggugurkan tanpa repot menikahi. 

Selain itu, mencari kolega untuk bekerjasama dengan perusahaan juga hal penting baginya. Entah bagaimanapun caranya, mau halal atau curang yang terpenting ia mendapatkannya. Memberi sogokan, tawaran yang tak masuk akal, bahkan menggunakan putrinya sebagai alat. Menyuruh para calon kolega itu mempermainkan putrinya bersama-sama demi sebuah kesepakatan bisnis. 

Mungkin itu terdengar keji apalagi melakukan di depan matanya sendiri, ketika sang putri menangis dan meronta karena diperkosa dua atau lebih laki-laki sedangkan ia sendiri diam dan menyaksikan tanpa merasa berdosa sedikitpun. 

Berita di luar sana selalu berkata bahwa ia ini sosok ayah yang mapan dan bertanggungjawab, menyayangi anaknya seperti seorang tuan putri. Namun, sebenarnya yang terjadi tidak seperti itu. 

"Lethia ke mana?" Rahardja duduk di kursi makan, mengibaskan jas yang ia pakai. 

"Saya tidak tahu, Tuan. Sudah dua hari nona tidak pulang," jawab wanita berusia sekitar empat puluh tahunan dengan seragam berwarna pink serta apron di badan. 

"Ah, anak itu."

"Maaf, Tuan. Apa kami perlu mencari nona?" Pria di belakangnya membungkukkan badan sebagai permohonan maaf, supir kepercayaannya. 

"Gak perlu, biarkan saja. Kalau uangnya habis juga akan pulang sendiri."

Mereka tahu kalau Rahardja tak pernah peduli tentang keberadaan Lethia semenjak sang istri meninggal. Ia mengira Lethia adalah menyebab kematian istri tercinta. Ia ingat betul saat anak mereka mulai tumbuh dan aktif, berlarian tak tentu arah hingga ke jalan raya. Di saat yang sama ada truk melintas dengan kecepatan tinggi, mau bagaimanapun naluri seorang ibu akan tetap menyelamatkan buah hati yang dicintai. 

Istrinya berlari meraih tubuh Lethia, tak sempat berlari hingga akhirnya tubuhnya sendiri terpental beberapa meter hingga hancur saking kerasnya tabrakan. Darah mengalir mengotori aspal, potongan tubuhnya berserakan bak ditabrak kereta. 

Rahadja yang melihat itu sontak saja menangis tak karuan, ditatapnya Lethia kecil yang tertawa melihat ayahnya. Sejak saat itu rasa sayang mulai terganti dengan kebencian. 

🌼🌼🌼

Gadis itu menggeliat merasakan tangan besar menimpa wajahnya. Gusar rasanya ketika tidur terganggu, masih lelah rasanya setelah pertarungan yang terasa begitu nikmat. Bayangkan saja dua hari tinggal bersama Jay membuatnya kepayahan. 

"Jay! Tanganmu di mukaku!" 

"Jay!" 

Lethia berusaha menyingkirkan tangan Jay, tapi sia-sia saja. Berat sekali, mungkin saja beratnya satu ton (?)

"Yes, dear?"

"TANGANMU!" Ia berteriak tepat di samping telinga Jay hingga membuat sang empu langsung bangun karena kaget. Wajahnya terlihat lucu.

"Jangan teriak, nanti Kara bangun." Anak itu masih tidur bersama mereka, entah, katanya ingin tidur bersama papa dan calon ibunya. Hah, siapa yang mau jadi istri pria sombong itu?

"Habisnya kamu budek!"

"Kenapa, sih? Mau minta lagi? Masih kurang yang semalem?"

"JAY!"

"Apa lagi, Lethia?"

"Bodo amat!"

"Lah? Marah."

Hari ini adalah hari Kamis, meski Lethia tak pulang bukan berarti ia harus membolos. Karena ia bodoh, maka sekolah adalah formalitas. 

Seragam sudah melekat di tubuh, rambut sudah disisir dan ditata sedemikian rupa, makeup yang dibelikan Jay pun sudah terpoles rapi di wajahnya. 

Sebuah parfum yang ada di atas meja menarik perhatian, warnanya ungu dengan pita kecil di bagian leher botol. Parfum wanita

"Ini parfum wanita, kamu punya pacar?" 

Jay menoleh menatap botol ungu di tangan Lethia, "Gak punya, itu milik saya, pakai saja kalau kamu mau."

"Seriously?" 

Pria itu mengangguk, tentu saja senang bisa memakai parfum mahal milik seorang pengusaha terkenal, apalagi seorang cowok. Terlebih aroma parfum itu sangat harum dan memikat, seperti sesuatu yang manis. Beruntung saja disaat seperti ini masih bisa tampil sempurna, semua berkat Jay. Sedangkan Lethia seperti seorang gelandangan yang pergi hanya membawa seragam sekolah.

Untuk enam hari bersama Jay, Lethia mampu menilai bahwa pria itu adalah sosok yang mengagumkan meski mesum. Bahkan tak tanggung-tanggung ia mengeluarkan uang untuk membelikannya makeup, baju, makanan, bahkan memberinya uang pegangan padahal hubungan mereka hanya sebatas pacaran yang saling menguntungkan, tapi sesuai perjanjian di awal bahwa Jay akan memenuhi semua kebutuhannya.

Meski begitu, Lethia yakin itu hanya sekedar rasa kagum pada seorang pria yang memberikannya figur seorang ayah, mampu membuatnya merasa nyaman dan aman. Namun, satu hal yang perlu ditegaskan, ayah tidak mesum pada anak. Itu saja. 

Dari balik pintu muncul tubuh mini anak lelaki yang sudah terlihat rapi dengan seragam berwarna oranye kotak-kotak. Tas ransel berbentuk tayo ia pegang dengan tangan kanan. "Kakak, Kara udah siap mau sekolah!"

"Wah, udah ganteng aja, nih! Nanti di sekolah jangan nakal, ya. Gak boleh jajan sembarangan, Kakak udah bawain kamu bekal. Nanti di makan." Kara mengambil posisi hormat, anak itu pintar sekali. 

Jay melihat keakraban dua makhluk di depannya. Seolah melihat bahwa Kara bahagia dengan kehadiran Lethia. Sosok keibuan perempuan itu mampu membuat Kara nyaman, begitu pula dengan Jay. 

"Mau saya antar atau sendiri?" tanya Jay yang sudah rapi dengan setelan jas dan sepatu pantofel hitam serta tas di tangan. Kini aroma mereka berdua sama dan itu sangat gemoy.

"Emm ...." Ia mengetuk-ngetuk jari telunjuk ke dagu, terlihat berpikir. "Aku mau bareng kamu aja, tapi aku takut mantan sialan itu ngejar terus."

"Siapa nama dan kelas berapa mantan pacarmu itu?"

"Arsen Nichola kelas dua belas B," jawabnya, tapi seketika wajahnya terlihat terkejut. "Eh, kamu mau ngapain nanya-nanya?"

Yang ditanya hanya diam seraya berjalan menuju pintu keluar, mau tak mau meski pertanyaannya tak mendapat jawaban, Lethia tetap mengikuti langkah kaki Jay menuju basemen dengan Kara berada di gendongannya.

Mobil melaju dengan perlahan, membelah jalanan ibukota yang cukup ramai lalu-lalang kendaraan. Jarak apartemen ke sekolah tak terlalu jauh, hanya dua puluh menit. Alasan lain Lethia memilih bersama dengan Jay karena mereka sejalan, kantor Jay pun tak jauh dari sekolah. 

Mobil berhenti tepat di depan gerbang, Lethia mencium bibir Jay sekilas lalu turun. 

"Nanti jemput aku jam tiga, ya. Sampai jumpa."

"Hati-hati."

Jadi Istri Tuan CEO (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang