~ 7

34.6K 1.3K 64
                                    

Telepon berdering, satu panggilan masuk dari papa. Lethia bangun dengan malas, pukul enam pagi, tapi matanya masih ingin memejam. Lagipula untuk apa ayahnya menelepon? Apa ia perlu sogokan untuk mencari kolega lagi?

Ia mengabaikan telepon itu meski terus berdering dan sangat mengganggu. Mata hazelnya menatap pakaian yang berserakan di lantai, serangan macan tutul Jayden semalam membuat kamar yang tadinya rapi berubah seperti tempat sampah.

Kekasihnya masih tidur dengan lelap, dada bidang yang tak tertutup kain membuat sesuatu dalam dirinya seolah berterbangan. Ia tersenyum, wajah tampan Jay dan ucapan cinta kemarin rasanya begitu sinkron. Lethia tak tahu yang ia ucapkan itu benar dari hati atau hanya sekedar ucapan belaka, yang pasti ia menyukai Jay.

Mungkin ia harus segera mandi dan memasak, sedikit kejutan di pagi hari sebelum Jay berangkat ke kantor.

Berjalan menuju kamar mandi tanpa sehelai benang yang menempel di tubuhnya. Tanpa rasa malu karena memang tak ada yang melihat atau mungkin ada yang diam-diam melihat (?)

Berdiri di bawah shower, air itu perlahan membasahi ujung kepala dan menetes sampai ke ujung kaki. Shampo dengan aroma strawberry yang sangat manis sudah bertengger di rambutnya, menggosok pelan hingga busa itu berjatuhan.

Tak lupa menggosok ketiak agar tak membuat siapapun pingsan ketika menciumnya. Bulu halusnya belum tumbuh, baru satu minggu yang lalu ia cukur.

Lima belas menit ritual pagi akhirnya selesai, ia memakai handuk dan segera keluar. Berdiri di depan lemari, mengambil sepasang seragam yang akan ia pakai hari ini. Tepat saat ia selesai memakai pakaiannya, Jay bangun karena suara dering ponsel itu terus mengganggu. Lethia mendekat, duduk di pangkuan Jay dan bergelayut manja.

"Kenapa kamu ngebiarin telepon bunyi terus? Ganggu saya tidur."

"Karena gak mau ngangkat aja, soalnya itu setan, aku kan takut."

"Gak jelas."

"Paling juga cuma dibutuhin buat narik kolega doang, aku kan bukan pelacur."

Jay menatap mata sendu Lethia, tampak kesedihan yang mendalam.

Tombol hijau digeser ke atas, suara bariton seorang pria terdengar dari seberang. Nada seperti orang yang marah, sangat tidak sopan meski berbicara pada anaknya sendiri.

"Kamu ke mana aja? Kenapa gak pulang? Saya butuh kamu, cepat pulang sekarang juga!"

"Tuh, kan bener!" katanya tanpa mengeluarkan suara.

"Hei, jalang! Pulang sekarang!"

"Tanyakan siapa kolega yang diincar," bisiknya pada Lethia. Namun, kekasihnya itu menggeleng, enggan berbicara pada ayahnya sendiri. Berkat paksaan dan sogokan Jay, soal jalan-jalan ke Singapura akhirnya Lethia mau meski malas.

"I-iya, Yah. Nanti aku pulang, emangnya siapa kolega yang mau diajak bermain?"

"Jayden Alexander, saingan saya."

"Cepat pulang atau saya akan suruh orang untuk membunuh kamu!"

Telepon diputus sepihak, lethia menatap nanar seorang Jay Alexander yang ada di depan wajahnya. Orang yang akan dipikat ayahnya adalah orang yang saat ini berstatus menjadi kekasihnya.

Jika orang itu Jay, tanpa diminta atau dipaksa untuk melakukan itu, maka Lethia bersedia dengan sepenuh hati. Karena ia ... mencintai Jay.

"Aku udah kayak PSK yang dijajakan sama mucikari, sayangnya mucikarinya ini ayahku sendiri."

"Saya bakal membebaskan kamu dari orang keparat itu!"

"Humm ... Kamu kenapa gak bilang kalau abis ketemu sama ayah?"

"Gak apa-apa, sih! Gak penting buat kamu juga."

"Penting lah! Ini kan ayah aku."

"Gak penting! Ini urusan kantor saya."

Lethia mengdengkus, berdebat dengan Jay hanya akan membuatnya emosi.

"Nanti kamu pulang dulu, abis itu saya nyusul. Saya janji bakal bebasin kamu."

"Aaaaaa ... cocuit banget, jadi sayang."

🌼🌼🌼

"Selamat pagi anak ganteng, waktunya makan?" ujar Lethia dengan sedikit kencang, seolah sedang diterpa kebahagiaan yang bertubi-tubi. Senyumnya sedari pagi merekah seperti bolu mekar. Tiga piring nasi goreng ayam dengan salah satunya ekstra telur dan nugget sudah tersaji di atas meja makan.

Kara menyambut uluran tangan Lethia, lalu berputar-putar seolah sedang berdansa. Sedangkan pria tua itu hanya melihat seraya menggelengkan kepala. Benar-benar anaknya sudah ketularan gila!

"Makan! Jangan muter-muter, nanti otak kamu bercecer!" katanya.

"Mana bisa, Pa?"

"Bisa, dong!"

"Yah, gimana, Kak? Otak aku nanti bercecer." Kara menatap nanar mata Lethia. Sedangkan yang ditatap hanya tertawa kecil.

"Udah, ayo makan!"

Anak itu makan dengan lahap, Lethia benar-benar memenuhi permintaannya untuk menambahkan ekstra telur dan nugget. Masakan kekasih sang ayah itu pun lumayan enak meski beberapa kali ia harus mengunyah garam yang tidak tercampur rata.

Ini yang Kara idam-idamkan sejak dulu, dimasakkan oleh seorang ibu-meski Lethia sekarang belum menjadi ibunya. Dulu, jika ia bertanya ke mana ibu, maka Jay akan menjawab, "Ibu sudah pergi dan kamu jangan bertanya soal itu lagi." Sedikit menyebalkan, tapi mau tak mau ia harus mendengarkan kata papanya.

"Papa sama Kakak nikah aja biar Kara punya ibu."

"Nanti, ya," sahut Jay.

Jadi Istri Tuan CEO (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang