8. ke(putus)an(ノ_・。)

323 56 73
                                    

Marah.

Bukankah harusnya begitu? Atau minimal kesal lah. Saat seorang tiba-tiba mengakhiri hubungan yang sudah dijalani begitu lama, lalu tiba-tiba diakhiri tanpa memberi alasan yang jelas, kemudian menghilang bagai ditelan bumi. Harusnya saat kembali bertemu, hadir rasa marah, kesal, benci... karena semua terasa tidak adil.

Tapi kenapa Junghwan tidak merasa benci sama sekali, tidak ada rasa marah secuil pun.

"Julali..."

Saat suara Jaehyuk menyapa telinganya, dan sosok yang selama ini dia cari-cari berdiri didepannya, menatapnya. Kenapa yang muncul hanya rasa rindu, disusul dengan rasa lega yang akhirnya pecah.

"Jae, kamu..." mata Junghwan mengabur, suaranya bergetar, tenggorokannya tercekat hingga sulit untuk bernapas.

Tepat sebelum Junghwan betul-betul jatuh ke tanah, dia merasakan tangan Jaehyuk menahannya, melingkar dengan hangat disisinya. Lalu Junghwan menyerah... memeluk Jaehyuk erat dan membenamkan wajahnya pada leher hangat Jaehyuk kemudian menangis tersedu-sedu.

"Julali... hei, kok nangis?"

Suara lembut Jaehyuk tidak membuat tangis Junghwan reda, tangannya tetap gemetar, sama dengan isakkan dari bibir dan air dari matanya yang makin deras.

"Julali... shh... nggak papa...," Jaehyuk berbisik, mengusap punggung Junghwan pelan.

"Kamu nggak ada... kamu kemana? Kamu kenapa? Aku cari kamu... tapi... nggak ketemu, ... kamu nggak ada dimana-mana..." kata-kata Junghwan berantakan disela tangisnya, semua keinginan untuk marah bahkan jika perlu menampar Jaehyuk saat dia menemukannya, hilang entah kemana.

" Julali..." Jaehyuk berusaha menarik kepala Junghwan pelan untuk melihat wajahnya. Tapi Junghwan yang sudah terlanjur tersedu, malah mengeratkan pelukkannya, takut jika dia melepas pelukkannya, Jaehyuk kembali hilang.

"Julali... liat aku." Junghwan menggeleng, "Julali, pegang tangan aku, terus liat aku."

Junghwan menarik napas dalam-dalam, mengenggam balik tangan Jaehyuk dan perlahan-lahan dia angkat wajahnya. Kemudian langsung menangis lagi ketika matanya menatap wajah Jaehyuk dengan jelas, sedekat ini lagi.

"Tuh kan makin cakep jadinya."

Cengengesan Jaehyuk masih sama, jari-jari Jaehyuk yang terulur menghapus air mata di pipi Junghwan masih terasa sama.

"Cup cup udah... entar kalo banyak yang naksir kamu gimana? kan aku udah pernah bilang, kamu tuh kalo nangis nambah cakep sama imutnya, apalagi nangis malem-malem di jalan kaya begini. Entar di karungin orang loh. Aku cariin taksi buat pulang ya?"

Semuanya masih sama, tak ada satupun yang berubah, lalu apa yang membuatnya hilang dan melepaskan semua?

Perlahan marah yang tadi menguap sekarang datang lagi. Junghwan pukul pundak Jaehyuk. "Masih sempet bercanda?! Kenapa teleponku nggak di angkat, pesan nggak dibales!? Kenapa malah ngilang?!" Semua kegalauannya sekarang bergerombol dikerongkongannya, mengantre untuk dikeluarkan, "Jae... aku nggak tau mesti gimana kalo kamu nggak sama aku... kenapa kamu malah lepas?"

Jaehyuk berdiri diam sekarang, seolah kesedihan yang Junghwan rasakan juga sampai padanya, bahwa dia juga sama sedihnya.

"Jae, aku ngomong sama kamu!"

"Kamu tuh ya..." Jaehyuk akhirny bicara, jarinya sekarang beralih merapikan rambut Junghwan yang berantakan entah karena angin atau kerana seharian ini dia lari kesana-kemari, bolak-balik ke semua tempat yang biasa Jaehyuk datangi.

"Kamu pulang aja ya, aku panggilin taksi biar-,"

"Jae..."

"Biar nggak kelamaan nyampe rumahnya, kamu malem-malem malah keluyuran begini, nanti kalau mama kamu marah gimama?"

Ke(putus)anTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang