*
*
Selamat Membaca
*
*
Jangan lupa taburan bintang dan komen, gaes!
*
*
"NORA!" jeritan Dela memenuhi ruanganku. "Are you okay?"
Lalu, dia masuk ke ruangan serupa banteng melihat kain merah. Dari tas yang ditaruh asal di meja panjang depan sofa bed-ku, bisa dipastikan dia belum masuk ruangannya sendiri.
Dengan gerakan gesit, dia berdiri di sampingku dan susah payah memutar kursi beroda yang kududuki agar kami berhadapan. Dia tidak memberi kesempatan buatku mempertanyakan tindakan gila ini, segera merengkuh wajahku lalu dimiringkan ke kiri dan kanan.
"Dela, gue oke," gumamku. "Gue lebih curiga lo yang nggak oke."
Namun, Dela terlihat belum puas. Dia menunduk semakin dalam dan memeriksa leherku.
Karena ruangan ini dikelilingi kaca dan aku lupa menurunkan tirai gulung, ada beberapa orang berusaha mencuri pandang. Aku menggeram, "Ini masih pagi, gue belum menyiapkan diri jadi bahan tontonan anak-anak."
Dela tetap tidak peduli. Dia menarikku berdiri, memaksaku berputar dari kiri ke kanan, lengkap dengan rabaan yang membuatku mengernyit.
"Del, apaan sih?!" Aku menahan kedua tangan Dela dan berdiri menghadapnya.
Sebuah keheningan yang panjang dan berat tiba-tiba tercipta di antara kami, seperti asap rokok; tebal, tidak bergerak, meyesakkan.
"Semalam lo tidur di mana? Kenapa nggak datang ke rumah gue?" tanya Dela. "Lo nggak buat aneh-aneh, kan?"
Aku sama sekali tidak terkejut Dela tahu aku tidak tidur di rumah semalam. Kejadian ini sudah beberapa kali terulang, Dela tiba-tiba tahu aku pulang subuh, dan satu nama selalu muncul setiap aku tanya dia tahu dari mana. Seketika pikiranku langsung sibuk menebak-nebak alasan apa yang diberikan si pemberi informasi kepada Dela selain; Nora ngambek sama papanya.
Kenapa sih orang ini lancang sekali menghubungi temanku demi terlihat baik depan Papa?!
Bersikap seolah memedulikanku, padahal mencari muka ke Papa.
Aku yakin 100%. Aku mati pun dia tidak bakal mau mengurusi kalau Papa tidak ada di dekatnya.
Aku memutar bola mata, yang langsung direspon decakan sebal Dela. Kemudian, aku menghempaskan diri ke kursi dan mengambilkan posisi benda itu seperti sebelumnya. Aku dan Dela sama-sama diam. Seperti sama-sama menyusun strategi penyerangan, yang sayangnya gagal dilakukan karena tamu tak diundang menyelanya.
Pintu ruanganku kembali terbuka dan Arka muncul.
"See, dia baik-baik aja." Arka melintasi ruangan dan duduk di depanku.
Dengan tingkah Arka yang terlihat mirip si kembar—anak Ray saat merajuk, perlu niat kuat dariku agar senyum mengejek tidak muncul. Dia menyampirkan satu tangan ke kepala kursi kosong di sebelahnya, sementara satu yang lain menarikan jemari di ujung mejaku.
"Sepanjang jalan Kemanggisan-Greenville yang dia omongin cuma satu, tentang lo. Nora nggak angkat telepon gue, nggak balas WhatsApp gue. Nora—"
"Please—" potongku cepat. "Kalau lo sebal sama Dela, karena dia nggak mau memanfatkan waktu berdua kalian buat saling dekat, jangan dilampiasin ke gue." Aku berusaha membuat kalimat itu tidak terdengar sarkastis, tetapi sepertinya gagal. Karena Dela yang kebetulan bertahan di posisi awal, segera mendorongku cukup keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Hope
RomanceNora Alexander hidup di istana mewah nan dingin, selalu memasang wajah arogan dan bersikap seolah tidak membutuh siapa pun. Dia bersikap keras kepada orang-orang disekitarnya, termasuk diri sendiri. Selalu merasa hidup tak lagi menyenangkan, sampai...