14

9.8K 1.9K 46
                                    

Selamat membaca


Jangan lupa taburan bintang dan komennya


KALAU HARI-HARI sebelumnya, aku mencari alasan mengunci diri lebih lama di ruangan setelah jam pulang kantor, khusus hari ini ... lima menit sebelum jam lima, komputerku sudah mati—tasku sudah rapi. Satu-satunya yang kupikirkan adalah kamar hotel. Aku ingin merenungi apa yang terjadi dengan Bastian sambil bersembunyi di bawah selimut. Jika memungkinkan, tidur lebih awal juga oke.

Alih-alih meredakan banyak emosi yang bergolak, kesendirianku justru meningkatkan rasa bimbang. Aku seperti berjalan di kota asing yang terbengkalai dan tertutup kabut. Aku tidak tahu tempat aman di arah mana, keadaan sekitar bagaimana. Yang aku pahami, aku ketakutan sampai menggigil.

Memang tidak seperti bayanganku selama ini. Bastian nggak memintaku memilih, tetapi—aduh! Tiba-tiba tali tak kasatmata yang mengeliling dadaku sejak Bastian muncul, ditarik sangat kencang—sampai rasanya sesak bukan main. Aku buru-buru duduk di pinggir ranjang, melepaskan handuk dari rambut, lalu menekan-nekan benda itu di pangkuanku. Dengan tegas, aku memaksa dadaku mengembang dan mengempis secara teratur. Entah berapa lama aku berdiam di posisi yang sama sampai berhasil menormalkan napasku, dan mendapatkan lagi kendali pada tubuhku.

Karena sangat memerlukan pengalihan, aku mengambil dan membawa laptop ke rancang. Aku bertekad mencari aktivitas menyenangkan setelah wifi hotel berhasil tersambung. Misalnya, menonton drama atau film. Tetapi Skype yang berdampingan dengan Google Chrome, berhasil menarik perhatianku. Sebelum membuka aplikasi panggilan video itu, aku melirik jam digital di pojok kanan laptop, lalu menyamankan duduk sembari memangku benda itu. Seharusnya, jam segini Via masih online. Dan ya, tebakanku benar. Tanpa banyak pikir, aku melakukan panggilan video. Empat kali aku mencoba, semuanya tidak diangkat. Kalau dipikir-pikir, alasan Via mengaktifkan Skype supaya lebih mudah menjalani hubungan jarak jauh Tangerang-Yogyakarta dengan Ray. Sangat besar kemungkinan mereka sedang bersama, tetapi ... aku mencoba sekali lagi.

"Terakhir," bisikku.

Di saat aku meyakinkan diri buat berhenti, kamera di seberang sana aktif dan Via muncul di layar.

"Nora! Hei!" Suaranya agak terengah, dengan penampilan habis mandi yang berantakan. Handuk melilit di rambut, pemilihan baju asal-asalan daster tipis bergambar Hello Kitty. "Tumben. Biasanya kalau mau Skype ngabarin dulu. Kenapa, Ra?"

"Lo lagi nungguin orang lain?" tanyaku, mengabaikan kebingungan Via. "Kalau iya, gue tutup."

"Eh!" Via menarik kursi dengan berisik, lalu duduk sembari menggeleng kencang. "Gue nggak nunggu siapa-siapa, kok."

Spontan, aku berkata, "Bullshit."

"Sumpah." Via memamerkan deretan gigi rapinya, ditambah mengangkat dua jemari membentuk V. "Gue tuh cuma kaget. Lo udah lama nggak ada kabar. Kapan ya lo terakhir nongol di grup cuma ngirim emoji jempol? Dua bulan lalu? Eh, sekarang langsung video call. Kangen banget sama gue?"

Kali ini aku yang menggeleng kencang, sementara Via tersenyum semakin lebar. Kemudian, dia terdiam. Sembari memandangiku, dia menggosok-gosok rambut memakai handuk—terang-terangan menunggu jawaban dari pertanyaan yang kuabaikan. Tidak heran, sih. Biasanya setiap kali aku menghubunginya duluan, selalu ada hal khusus yang perlu kubicarakan. Seperti menyampaikan amanat Papa soal apotek yang diurus Via, memberi laporan pinjaman ke Papa tersisa berapa, pokoknya begitu deh.

Sayangnya, hari ini aku tidak punya.

Aku cuma mau ditemani, tanpa dipaksa menerima apa pun ....

"Dua minggu terakhir, grup kita berasa room chat pribadi gue sama Rissa. Biasanya Dela yang manggilin kita satu-satu, eh, dia ikutan ilang kayak lo."

"Dela lagi megang tiga proyek penting, bukan ilang karena masalah." Kening Via mengerut, dan aku lanjut bertanya, "Kenapa lo dan Rissa yang biasanya selalu susah dihubungi, semakin ke sini, semakin aktif megang handphone?"

Via mengangkat kedua bahu, "Mau bagaimana lagi? Si kembar ngelarang gue jauh-jauh dari handphone."

"Si kembar atau Ray?"

Via nggak menjawab, tetapi aku bisa melihatnya; she's really in love. Menjalani hubungan serius bersama Ray dan si kembar, berhasil membuat Via bersahabat sama banyak hal yang dulu sama sekali tidak dianggap penting; ponsel dan internet, contohnya.

"Oh ya, lo udah nyobain brownies-nya Rissa?" Tiba-tiba Via bertanya, dan yang kulakukan cuma diam. "Gue baru bisa beli dua hari lalu."

Kalau tiga bulan lalu Rissa tidak mengirimi Della 30 pack brownies, yang dibagikan ke semua karyawan Helio. Mungkin, aku jadi satu-satunya orang yang tidak tahu apa pun. Dan ya, seperti kata Via—aku selalu membiarkan chat grup kami menumpuk tanpa membuka sekali pun. Empat bulan terkahir aku jarang menghubungi siapa pun secara personal. Belum lagi aku lebih banyak berdebat sama Dela, daripada mengobrol baik-baik.

Lalu, Via memintaku menunggu. Tidak sampai lima menit Via muncul lagi dan mengangkat kotak bertutup transparan berisi brownies. "Kemarin banget sampai dengan selamat di Yogya, gue beli empat kotak. Dua gue bawa ke apotek, satu gue makan bareng temen-temen kuliah, ini persedian terakhir gue. Asli. Seenak itu."

Via mulai dongeng tentang orang-orang baru di kehidupannya selama tinggal di Yogyakarta sangat menyukai brownies Rissa. Bahkan, ada beberapa teman kuliah malamnya—memborong brownies itu. Dia juga bilang, Rissa sempat menggerutu karena pesanan dari temen-teman baru Via tumpang tindih sama pesanan yang didapatkan Rissa sendiri.

Sepertinya semua berjalan baik buat Rissa ataupun Via. Syukurlah.

Setelah bicara sampai nyaris kehabisan napas, Via berkata, "Sekarang, gantian lo yang cerita. Gue istirahat dulu."

Sempat ada jeda beberapa saat. Menimbang mana yang harus aku bagi lebih dulu; keluar dari rumah atau baru saja menerima pernyataan suka dari cowok?

"Gue berhasil keluar dari rumah." Akhirnya topik itu yang kupilih, walau Via tidak pernah bereaksi keras tentang Bastian—tetapi dia sama tidak sukanya seperti Dela.

Via yang tadinya sedang bersiap memakai lotion, berhenti bergerak. Dia memandang lurus ke arahku, sembari menggigit bibir.

Aku lanjut bicara, "Tapi tenang aja, urusan ini nggak ada sangkut pautnya sama lo. Lo tetap kerja kayak biasa di apotek dan bebas tinggal di rumah itu. Gue jamin bokap nggak bakal ngusik lo."

Toh, jauh sebelum Papa mengiyakan permintaanku menolong Via—hubunganku dan beliau sudah kacau. Semacam bom yang menunggu waktu buat meledak. Lagi pula, kehadiran Via di apotek itu sangat membantu Papa. Beliau tidak bakal melepaskan karyawan yang hasil kerjanya jelas lebih bagus dari pendahulu.

"Don't worry about me, Ra," kata Via lembut.

"Gue ninggalin semua yang berhubungan sama uang Papa. Gue cuma bawa tabungan dari gaji dan komisi selama kerja di Helio. Gue udah seminggu nginep di hotel, lagi nyari tempat tinggal," ucapku. "Ternyata nyari tempat tinggal susah banget tahu, Vi. Gue ada budget, tapi apartemen yang gue lihat selalu kurang. Dan yang nyebelinnya, gue nggak tahu kurangnya di mana."

Via terlihat mencondongkan badan, sampai layar laptopku dipenuhi wajahnya. "What do you feel now? Lega?"

Nggak ada reaksi berlebihan, atau mengomeliku dengan kata implusif seperti Dela. Via hanya menatapku dengan sangat lembut, sampai aku menahan napas. Seakan-akan dia ada di sebelahku, membiarku melakukan apa yang biasa kulakukan di stuasi seperti ini—berbaring di pangkuannya.

Aku tertegun selama beberapa detik, lalu buru-buru bersikap seolah mengalami gangguan koneksi dan mengakhir panggilan sepihak. Mataku mengelilingi kamar dan berhenti pada langit gelap di luar jendela.

Aku mengulang lagi pertanyaan Via. Terus. Terus. Sampai rasa sakit melesat menguasai tubuhku, dan tiba-tiba saja aku menangis. Aku tersadar, bahwa banyak hal yang kupikir bisa didapatkan setelah keluar dari rumah Papa justru terasa sangat sulit kuraih ....

Aku nggak merasakan kelegaan sedikit pun.



Terima kasih sudah membaca

Btw, follow IG aku ya, gaes : Flaradeviana. Buat informasi soal naskah-naskah aku.

Love, Fla.

Second HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang