15

10.6K 1.9K 72
                                    

Selamat membaca


Jangan lupa taburan bintang dan komennya


SETENGAH HARIKU BERJALAN tanpa perasaan tertentu. Padahal, aku mengawali hari dengan hal gila; mengumumkan kepindahan pada Andan lalu minta disiapkan surat perjanjian sewa. Tidak berpikir panjang, aku check out dengan terus mengulang kalimat menenangkan; lo udah buang uang ratusan ribu perhari selama seminggu, udah waktunya punya tempat tinggal yang dibayar bulanan. Tentu saja dua koper yang kubawa ke kantor menarik perhatian orang-orang, bahkan banyak yang menduga aku diusir dari rumah—menyambungkan pada fakta aku tidak lagi membawa mobil ke kantor ataupun memakai barang mahal berbeda setiap harinya.

Aku menarik napas dalam-dalam sembari meluruskan kedua kaki di meja depan sofa bed.

Ini jam istirahat, dan aku sama sekali tidak punya hasrat keluar dari ruangan. Kepalaku masih sakit, perutku menolak keras makanan berat. Lagi pula, aku sedang berusaha tidak bertemu Dela. Dengan keadaan begini, rasanya akan jauh lebih melelahkan mendengar omelan ataupun pertanyaan Dela tentang pilihanku menghabiskan weekend bersama alkohol sampai tidak sadarkan diri. Jadi menyamankan diri sembari memejamkan mata, pilihan terbaik memulihkan energi yang kupunya sebelum kembali bercengkerama bersama sketchup.

Rasanya baru sebentar mataku tertutup, saat pintu ruangkanku terbuka dan aroma manis yang sangat kuhafal milik siapa menyeruak. Aku mengumpat dalam hati, mengatur napas seolah sedang tertidur. Walau tidak mungkin dilepaskan begitu saja, setidaknya aku berusaha.

"Gue tahu lo nggak tidur," imbuhnya, sembari menaruh sesuatu yang dingin dan hangat di perutku.

Ada begitu banyak perasaan bergejolak dalam diriku, tetapi aku tetap menutup mata—hanya meraba-raba sekaligus menebak pemberian Dela. Menggunakan satu mata, aku menemukan satu kaleng susu beruang dan sebungkus bakpao ayam telor asin favoritku dari warung dimsum sebelah Helio.

Aku ketahuan. Dia tahu satu-satunya yang bisa membantuku cepat lepas dari efek alkohol adalah susu beruang.  Wah, kira-kira apa yang sampai ke telinga Dela; penyihir diusir dari rumah, lalu datang ke kantor dalam keadaan kacau dan pengar?

Dia melemparkan bokong di sebelahku, lalu berkata, "Makan dulu bakpaonya, sup ayam jahenya masih on the way."

Yap, aku 100% tertangkap basah.

"So, lo udah dapat tempat tinggal baru?" Tumben. Biasanya nyerocos; kenapa minum lagi sih, Ra? Sepertinya, aku harus menyiapkan diri diserang di bagian lain. "Tadi gue nggak sengaja dengar Mas Adnan—" Nyah, ternyata pelurunya disiapkan ke sini. "Ngebatalin rencana badminton sama Arka. Doi bilang hari ini penyewa baru mau masuk rumahnya. Dan itu, lo. Its true?"

Dengan enggan, aku membuka mata sepenuhnya dan menatap dia.

Dela memiringkan kepala dan membalas tatapanku. Meskipun dia mengernyit menyaksikan lagi kondisi pengarku secara langsung, wajahnya lebih menggambarkan kepuasaan yang tak terbantahkan. Seakan-akan, dia baru saja memenangkan tender proyek berkomisi menggiurkan, dari klien menyebalkan.

Aku menghela napas sembari memutar-mutar kaleng susu di antara kedua tanganku. "Setop, bersikap seperti lo nggak tahu apa-apa." Bibir Dela terbuka lalu menutup cepat. "Waktu itu Via nggak curiga sama sekali kalau lo sengaja nawarin kerjaan di rumah Ray." It's true, kalau bukan karena kesengajaanku membahas masalah itu ke Via, selamanya Via tidak balal tahu tentang kerja sama Dela-Ray. "Gue nggak sepolos itu."

Tiba-tiba Dela tersenyum, sembari membuka plastik bakpao dan menyodorkan ke bibirku. "I know ..." Aku menghindari, tetapi dia memaksa bibirku terbuka dan memasukkan sobekan kecil bakpao ke sana. "Dari awal gue tahu lo bisa baca rencana ini, tapi kalau gue nggak gitu—lo bakal buang uang terus di hotel."

Dia kembali menyobek bakpao, lalu kembali mengantarkan potongan itu memasuki bibirku, dengan lirikan tajam—seperti saat Mama memastikan aku menghabiskan sayur yang nggak aku suka; wortel.

"Lo memutuskan meninggalkan semua bantuan financial dari Om Fredy artinya lo harus bijaksana memakai uang yang ada." Aku berusah menyahut, tetapi Dela menyodorkan bagian daging untuk kugigit sendiri. "Selain itu, semakin lama lo nggak ada tempat tinggal pasti, kesempatan Om Fredy bayar orang buat nyeret lo balik ke rumah—makin gede. Dan gue nggak mau itu terjadi."

Ekspresi Dela tiba-tiba melembut seakan-akan menemukan harapan tertentu. Dia kembali mengarahkan bakpao, dan aku buru-buru membuka kaleng susu.

"Gue, hm, awalnya gue mikir tindakan lo pergi dari rumah dalam keadaan emosi adalah kebodohan." Spontan, gerakan tanganku behenti—membiarkan ujung kaleng menempel di bibirku. "Tapi semakin gue pikir, bisa jadi ini pilihan terbaik. Lo menjauh sekali lagi dari hal-hal yang nyakitin. Tapi sementara aja loh, Ra. Bukan selamanya. Karena pada akhirnya, lo harus menghadapi lalu nyembuhin luka itu."

Aku meluruskan pandangan ke meja kerja, lalu menurunkan kedua kaki. Dela ikut bergerak. Dia menaruh sisa bakpao di meja, mendekat lagi dan memelukku dari samping.

"Gue sadar betul gue nggak pinter ngadepin lo, Ra." Aku menarik napas dalam-dalam, alih-alih meyambut kelegaan—rasa sakit yang memberikan salam. "Tinggal sama gue berpontensi bikin lo tambah sekarat, tapi gue pengen banget bantu lo. Kebetulan, Mas Adnan memang ada tempat, dan Arka bisa menjamin dia nggak bakal aneh-aneh ke lo."

Pelukan Dela berakhir, dan aku kembali memandangnya. Mata Dela kembali menampilkan kesan tegas lalu memberikan decakan tidak sabar.

"You know what i mean."

Aku mengangkat bahu. Ketika aku tidak terlihat berusaha memecahkan tujuan kalimat, karena aku malas membahas tujuan akhirnya, Dela menghela napas.

"Intinya, Mas Adnan induk semang yang oke. Daripada lo memilih tinggal bareng Bastian."

Nah, bener kan! Ujung-ujungnya pasti Bastian.



Terima kasih sudah membaca

Btw, follow IG aku ya, gaes : Flaradeviana. Buat informasi soal naskah-naskah aku.

Love, Fla.

Second HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang