Selamat Membaca
•
•
•Warning : Please, dibaca yg bijak. Jangan sampe kepikiran yg gmn. Dan Nora ini memang ada Mental Health Issue. Dan saat namanya terkuak, tolong jangan self-diagosis. Jangan merasa. Ah, gue mirip Nora. Hahaha.
•
•DENGAN HASIL tabungan dari uang hasil bekerja selama tiga tahun yang baru kupakai sepuluh jari saja tidak genap, aku berbelanja kebutuhan pribadi untuk seminggu ke depan dan koper kecil. Tidak gila-gilaan seperti saat aku membelanjakan uang bulanan Papa ataupun kartu kredit beliau, aku cuma membeli yang pasti aku pakai—baju, pakaian dalam, keperluan mandi, skincare, dan make up.
Setelah mencuci semua pakaian baru di laundry koin, aku memasuki kamar deluxe dari hotel yang menyatu dengan mal tempatku berbelanja. Sama sekali tidak berniat mematikan airplane mode yang sengaja aku pasang sejak memutuskan check in lalu berbelanja.
Aku membersihkan diri dengan cepat, kemudian berbaring miring di ranjang tanpa menghidupkan satu lampu pun. Aku mulai menjalankan salah satu kebiasaan lain yang muncul setelah Mama pergi dari rumah; membiarkan sebagian gordenku tidak menutup jendela supaya aku bisa melihat langit malam sambil berbaring. Tak jarang aku bertanya-tanya pada diri sendiri kenapa aku masih melakukannya di umurku yang tidak lagi belasan; apa aku masih berharap Mama tiba-tiba muncul dari langit dan bicara padaku seperti yang sering terjadi di film-film? Atau, aku terlalu mempercayai dongeng Bik Dwi tentang orang yang sudah meninggal selalu bisa melihat kita dari langit, dan aku ingin Mama melihat kondisiku setelah beliau pergi. Babak-belur. Tak berbentuk.
Tiba-tiba perutku melilit. Kesedihan kembali bergelung. Kehampaan terang-terangan mentertawakan diriku. Ingatanku tanpa ampun memutar kejadian semalam; wajah marah Papa, genggaman kencang beliau seolah aku bakal mencelakai orang, dan satu tamparan yang gagal Papa berikan. Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu, air mata yang berhasil aku tahan sejak teriakan pertama Papa semalam—berbaris rapi di pelupuk.
Dan sekali lagi, ingatan sialan di kepalaku berulah dengan memunculkan wajah kecewa Dela tadi pagi, serta menggemakan suara Dela; hari ini gue sadar usaha gue percaya sama lo sia-sia.
Aku memejamkan mata, dan suara Mama tiba-tiba muncul, "Kamu yang lebih dulu mengkhianati kepercayaan saya, kenapa saya nggak boleh melakukan hal seperti kamu? Kenapa kamu boleh marah, saya nggak?! Bertahun-tahun saya berusaha percaya sama kamu, tapi semua sia-sia!"
Seketika, air mata tak sanggup lagi kubendung.
Aku menangis tanpa suara. Banyak pikiran buruk mengantre, menunggu giliran untuk memenuhi otakku, tetapi rasa perih yang muncul di tanganku berhasil mengusir semuanya. Aku menyalakan lampu tidur di nakas samping ranjang, lalu terkejut melihat satu lenganku terdapat bekas garukan yang berdarah.
Susah-payah aku memaksa tangisku berhenti, lalu turun dari ranjang dan mengambil tissue di meja bawah televisi. Usai membersihkan darah yang tidak perlu dikhawatirkan, aku meraih tas dan memandangi dua barang di dalam sana.
Ponsel. Apa aku perlu menghubungi Bastian dan memintanya ke sini? Namun, bagaimana kalau saat aku menormalkan ponsel ada pesan masuk dari Dela yang mengatakan bahwa pertemanan kami berakhir.
Aku menggeleng dan beralih ke sekotak obat tidur yang kubeli sebelum ke hotel.
Ini lebih oke.
Aku mengeluarkan satu pil ke telapak tanganku.
Pikiran itu muncul ... Kalau aku meminum seluruh isi strip dari obat ini, apa aku bisa keluar dari hidup yang memuakkan ini?
Rasanya aku mati pun, tidak bakal berefek besar pada orang-orang di sekelilingku. Mereka tetap bisa menjalani hidup seperti biasa, mungkin diam-diam mereka juga merasa lega si tukang pembuat masalah sudah tidak ada.
Aku mengeluarkan semua pil dari empat strip obat tidur itu, lalu melirik langit gelap dari setengah bagian jendela yang terbuka. Alih-alih menelan seluruh pil yang berserakan di meja, aku hanya meminum satu pil. Aku tetap butuh tidur. Kemudian, membuang sisanya ke kantong plastik kecil bekas U C 1000.
•
•
•Terima kasih sudah membaca.
Love, Fla. 💜💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Hope
RomanceNora Alexander hidup di istana mewah nan dingin, selalu memasang wajah arogan dan bersikap seolah tidak membutuh siapa pun. Dia bersikap keras kepada orang-orang disekitarnya, termasuk diri sendiri. Selalu merasa hidup tak lagi menyenangkan, sampai...