11

10.1K 2K 84
                                    

Selamat membaca


Jangan lupa taburan bintang dan komennya


TIGA HARI sejak kepulanganku dari Bandung, dan aku belum menemukan tempat tinggal baru. Kupikir asal ada uang menemukan tempat pulang adalah perkara mudah, ternyata aku kelimpungan. Bolak-balik aku berselancar mencari kandidat apartemen di website sewa online, tetapi setiap kali aku melihat secara langsung ada saja yang tidak sesuai keinginan. Selalu kurang.

"Ra, stop wasting your time." Duh, mulai lagi! "Kalau nggak mau balik ke rumah, tinggal sama gue. Heran, suka banget sih nyusahin diri sendiri."

Heran. suka banget maksa! Kusahut dalam hati.

Dua hari lalu perang dingin kami berakhir. Sejak itu Dela tidak pernah capek menyodorkan gagasan konyol tentang tinggal bersama di rumahnya, dan aku mulai bosan menjelaskan betapa tidak oke-nya kami berada di satu atap selama 24 jam. Astaga! Aku mengacak-acak rambut bagian depanku, lalu memindahkan mata dari layar komputer ke Dela yang berdiri antara pintu terbuka tanpa melepaskan gagang.

"Solusi terbaik," lanjutnya. "Bunda mau banget lo tinggal bareng kami. Ada satu kamar kosong, lo bebas mau desain ruang itu kayak apa. Lo cukup bantu biaya listrik, terus—"

"Leave me alone!"

"Ra, dengerin dulu."

"Fidela!"

Dela buru-buru mengangkat kedua tangan dan tersenyum sangat lebar, sampai-sampai aku merinding. Wah. Apa aku perlu mempersiapkan hati untuk hal yang lebih menyeramkan dari usulan tinggal bersamanya? Belasan tahun kami dekat, Dela tidak pernah mengalah semudah ini. Dia bakal berdebat sampai kami sama-sama lelah, hmmm, sampai aku yang lebih dulu meninggalkannya.

"Makan siang," lanjutnya. "Bukan di kantin. Cetral Park. Ikkudo Ichi. Yakin mau nolak?"

Hah! Pantas saja dia bersikap lunak!

"Kenapa sih nggak makan berdua aja sama Arka?" Dela selalu menggunakan fasilitas kantor secara maksimal, salah satunya kantin. Satu-satunya alasan Dela makan siang di luar; Arka. Dan setiap kali itu terjadi, Dela tidak pernah lupa melibatkanku. "Kalau lo lagi males makan bareng dia, belajar nolak dong, Del!"

Dia berdecak. "Mas Adnan ikut."

"Terus?" Aku meninggikan suara, memasang ekspresi semakin malas. Menyembunyikan rasa kaget karena Dela menyebut nama lelaki itu, seolah berpergian bersama membawa perubahan di hubungan aku dan Adnan.

Lalu, Dela si pantang menyerah memasukkan diri seutuhnya ke ruangan.

Dia melangkah lebar-lebar, tidak memusingkan pintu yang tertutup cukup kencang menarik beberapa orang menghentikan kegiatan istirahat mereka lalu mencuri pandang ke ruanganku. Sebelum aku berhasil memprotes aksi tersebut, Dela sudah lebih dulu berdiri di seberang meja dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dia mengembuskan napas lambat-lambat, disusul tatapan prihatin bagai Ibu yang menemukan anaknya berubah menyedihkan setelah bertahun-tahun merantau.

"Ra, lo—"

"Oke!" Aku mendorong kursi beroda ke belakang lalu berdiri.

Kalau berdebat masih sanggup aku tahan, tetapi gerak-gerik Dela barusan merupakan awal dari kalimat-kalimat menyebalkan seakan kehidupanku berubah tidak layak sejak keluar rumah dan menolak fasilitas yang Papa kembalikan. Daripada aku harus menyiksa kuping, lebih baik mengalah saja.

Toh, aku memang perlu makan. Dan ramen, cukup ampuh mengembalikan energiku.

Dengan senyum lebar tanpa gigi, Dela menggandengku keluar ruangan. Seperti memastikan tahanan tidak bakal kabur. Biasanya aku bakal melepaskan diri secara paksa, tetapi aku memilih menghemat tenaga buat apa pun situasi yang menunggu di restoran nanti. Siapa tahu kadar canggungnya lebih besar ketimbang saat mendengarkan usaha pendekatan Arka yang ditanggapi Dela seadanya.

Waduh.

Rasa ngeri mendadak muncul lalu memaksa sel-sel penting dalam otakku mencari alasan masuk akal buat membatalkan keikutsertaanku. Sialnya, sebelum aku berhasil menemukannya—kami sudah berdiri di teras kantor dan mobil Arka langsung menyambut.

Diiringin desah pelan, aku membuka pintu belakang pengemudi—Dela sebaliknya.

Padahal aku sudah memperkirakan Adnan bakal duduk di balik stir, tetapi masih saja memilih posisi ini. Dasar dodol. Sebelum menjalankan mobil, mataku dan Adnan sempat bertemu di kaca tengah—aku langsung teringat ekspresi putus asanya sedari di kafe sampai hari kepulangan kami.

Belum apa-apa aku rasa canggung sudah memelukku erat-erat.

Seharusnya aku lebih mempertimbangkan pertemuan dengan Adnan setelah berusaha keras menghindar darinya, daripada mengkhawatirkan kebawelan Dela. Aku sudah sering menghadapi Dela, kalau Adnan—aku mengembuskan napas pelan sembari menyandarkan pelipis ke kaca mobil. Aku memusatkan mataku pada wristlet hitam, yang semakin lama kulihat, aku semakin sadar belum membalas satu pun pesan singkat dari si pemberi tas—Bastian.

Jarak antara kantor dan mal tidak ada 10 KM, tetapi bagiku serasa jauh sampai memelukan berjam-jam buat tiba di sana. Beberapa kali mobil tersendat, dan obrolan khas lelaki Arka-Adnan segera memenuhi mobil. Kadang-kadang Dela nimbrung, bahkan berupaya melibatkanku—tetapi aku mengunci rapat bibirku, cuma mengangkat kedua bahu—mengangguk—menggeleng.

Kebisuanku bertahan sampai kami tiba di mal, lalu mendapatkan tempat duduk di restoran ramen yang berseberangan sama toko buku. Satu-satunya alasanku mengeluarkan suara demi menyebutkan pesanan, setelahnya bibirku kembali rapat dan aku menunduk cukup dalam sembari berselancar di dunia maya; membuka Twitter, melihat Instagram, mengicar apartemen lagi, lalu kembali membaca cuitan-cuitan konyol di burung biru. Kemudian, percakapan Arka dan Adnan membuat jempolku berhenti menaikturunkan layar ponsel.

"Kemarin yang lihat rumah lo? Deal?" Begitu tanya Arka.

"Dianya mau, gue ogah," jawab Adnan.

"Loh, Mas Adnan mau jual rumah?" Tiba-tiba Dela ikut masuk obrolan, saking antusianya sampai menaruh ponsel di meja—biasanya di situasi makan bersama begini aku dan Dela sama-sama kompak terlihat sibuk sama ponsel kami.

"Nggak dijual," sahut Adnan, diselingi kekehan yang semakin menarikku buat melirik—tetapi berhasil kutahan. "Cari teman serumah lebih tepatnya. Gue sok-sokan beli rumah di daerah Tanjung Duren, nggak gede-gede banget sih. Type 55. Dua kamar. Dua setengah lantai. Karena masuk KPR, dan gue cuma pakai satu kamar—gue ngide nyewain satu yang lain. Lumayan buat bantu cicilan."

Entah kenapa penjelasan itu—jangan mikir aneh-aneh, Nora! Tinggal sama Dela nolak mati-matian, tetapi sedikit tertarik sama rumah Adnan. Sinting!

Dela mengumamkan sesuatu, lalu bertanya lagi, "Emang yang nyewa sebelumnya kenapa keluar, Mas?"

"Dia udah lulus kuliah, langsung nyari kerja dekat orangtuanya. Di Surabaya."

Dela ber-O ria, lalu Arka bertanya udah beriklan di mana saja. Tololnya, saat Adnan menyebutkan website dengan detail judul iklan—aku mencarinya. Ketika aku menemukan iklan itu baru ditayangkan pagi tadi, aku merasa seperti ikan memakan umpan.

Sialan!


Terima kasih sudah membaca 💜

For more information about me, naskah-spoiler-atau cuma kegilaan aku selama nulis, feel free to follow my IG : Flaradeviana

Bisa juga kalian tag-tag aku bagian favorit. Ehehehe

Love, Fla!

Second HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang