8

13.8K 2.5K 136
                                    

Selamat membaca


BARU KALI INI aku merasa perjalanan Jakarta-Bandung sangat melelahkan. Biasanya menyetir atau tidak, aku selalu menikmatinya. Tidak peduli Dela memilih topik menyenangkan atau menyebalkan, aku tidak bakal merasa terganggu sampai berkeinginan lompat dari mobil. Beberapa kali aku menyetir seorang diri, dan Dela tidur sampai masuk Bandung.

Begitu saja aku tidak merasa tersiksa seperti ini.

Aku ingin bertanya, kenapa mobil ini selambat kura-kura? Tetapi, buat apa mempermalukan diri sendiri? Mobil ini sudah melaju di kecepatan antara 120-140.

Gila.

Kenapa sih perjalan kali ini serasa ke Semarang?! Jauh, lama pula!

"Ra, beli kopi dulu ya di rest area depan." Kalimat pertamanya sejak kami terkurung di mobil ini.

Tahan napas, Nora.

Jangan jawab. Jangan gerak.

"Lo nggak capek sejam lebih pura-pura tidur gitu?"

Shit!

Spontan aku membuka mata, lalu menggemakan jawaban di kepalaku. Gue terbiasa pura-pura selama puluhan tahun, sampai lupa rasanya capek kayak apa.

Sedari kecil aku diminta pura-pura tidak tahu, kalau hampir setiap malam Papa-Mama bertengkar seperti orang kesurupan dan di pagi hari memainkan peran pasangan bahagia. Aku dipaksa menikmati banyak pelajaran tambahan dan lomba ini itu supaya bisa dipamerkan ke depan banyak orang. Sewaktu Mama meninggal, aku bersikap tidak tahu apa-apa fakta di balik kepergian beliau. Begitu juga saat Papa mengumumkan si perempuan sialan resmi menjadi bagian keluarga ke tamu undangan yang tadinya datang buat merayakan ulang tahun Papa, membuat aku tidak punya pilihan selain tersenyum dan menerima banyak ucapan selamat.

Aku sudah berpura-pura sepanjang hidupku ini.

"Nora?"

Aku duduk tegak di kursi dan bersedekap. "Ini mobil lo. Lo juga yang nyetir. Kenapa sok-sokan tanya pendapat gue?" Seharusnya aku tidak perlu sekasar itu demi kesopanan, tetapi sekali lagi aku gagal menahan rasa jengkel yang entah karena apa. "Gue nggak bisa kasih keuntungan apa pun buat lo. Arka yang berkuasa di Helio. Di atas Arka ada Om Bayu. Sok manis depan mereka aja."

Aku menoleh, dan dia melirikku sambil mengernyit. "Sejujurnya, gue mulai bosan sama tuduhan lo yang itu-itu aja."

"Ups, sori," sahutku dengan suara manis yang membuatku merinding sendiri. "Soalnya gue punya alergi sama orang yang suka melakukan apa aja demi uang."

Seperti perempuan sialan yang hidup nyaman di rumah dan diperlakukan lebih baik dari Mama oleh Papa. Papa tidak pernah membentak. Papa—Aku mendesah lalu merapatkan badanku lagi ke pintu, seraya menyandarakan pelipis ke kaca.

"Anggap aja gue penumpang nggak terlihat," kataku.

Saa mobil memasuki rest area tanpa respon darinya, aku pikir artinya dia setuju menganggap aku tidak ada. Namun, tebakanku salah besar. Di jalur driver thru Starbucks, dia memesan dua kopi dengan jenis berbeda. Lalu, setelah kopi sudah dibayar dan diterima, dia mengulurkan salah satunya ke arahku.

"Americano. Dingin."

Aku mengernyit dan sama sekali tidak beminat mengambil kopi itu. Astaga, orang ini. Apa sih yang salah darinya? Kenapa dia sama sekali tidak paham kalau aku tidak suka sikap sok ramahnya kepada? Aku harus sekasar apa lagi sih baru dia mau menjauhiku seperti orang-orang menjauh?

Second HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang