🎈DUA PULUH SATU🎈

313 25 6
                                    


_HAI ECHA_

tangan Echa bergetar hebat. ingin meraih knop pintu saja rasanya sangat susah karena getaran tangannya tidak biasa. entah karena capek atau apa, hari ini Echa sangat pusing, lelah dan ingin segera istirahat.

selain itu Echa juga tertekan. takut, jika Ardo sudah tahu tentang kejadian pagi ini disekolah. bukannya takut disalahkan, Echa takut kalau kesehatan Ardo akan menurun karena Echa yang selalu berulah.

ceklek...

bukan Echa yang membuka pintu, melainkan Ardo. cowok itu kini berdiri tepat didepan Echa. Echa tersenyum lebar melihat kakaknya yang sudah terlihat sehat dan bugar. berbeda seperti sebelumnya.

"abang mau kemana?" tanya Echa lirih. mendengar suara lemah Echa, hati Ardo sangat tersentuh. ingin sekali ia menanyakan kondisi gadis itu. tapi tidak, Ardo tidak akan menanyakan hal itu, Ardo kecewa. dia sangat kecewa dengan Echa yang selalu membuat gara gara.

Ardo tidak menyahut. Ardo terus melanjutkan aktivitasnya dengan memakai jaket marganya tanpa sedikitpun mau menghiraukan Echa.

"bang, bang Ardo mau kemana?" tanya Echa sekali lagi. entah telinga Ardo yang salah, atau memang suara Echa yang melirih. seperti terdengar lebih lemah dari sebelumnya.

"pergi." meskipun terdengar singkat, namun kali ini Ardo menyahut.

"jangan pergi, temenin gue sampe tidur ya?"
"gue sibuk Cha."
"bang-"

brugh..

"Echa!" teriak Ardo membulatkan matanya sempurna. "Cha, bangun. Echa-" Ardo terus menepuk nepuk pipi Echa berkali kali. tapi sang empu tetap tidak sadarkan diri dari pingsannya.

dengan cepat, Ardo langsung menggendong Echa masuk kedalam rumah. menaiki tangga, dan membawanya ke kamar sang empu segera.

perlahan Ardo membaringkan tubuh Echa. matanya berkaca kaca, mengapa semuanya terjadi?.

Ardo memang pribadi kasar. tahan tangis, tapi kalau sudah menyangkut tentang adiknya, dia bisa menjadi manusia lemah.

"Cha, sorry. "

***
Floren tersenyum miring kepada gadis didepannya. sesampainya pesanan mereka datang, gadis didepan Floren itu memberikan sejumlah uang yang tidak sedikit kepada pelayan cafe.

"saya bayar sekarang mba, males ngantri di kasir. kalo ada kembalian, ambil aja."
"oh, iya. terimakasih," ucap pelayan cafe menundukkan kepala.

"bisa bisanya lo mau gue ajak kerjasama." kekeh Floren mulai meminum jusnya.

"apapun bakal gue lakuin buat nyingkirin musuh gue."
"salut gue sama lo."

keduanya terkekeh bersama. menghabiskan pesanan mereka, dengan keasyikan saling bercengkerama riang.

***
ditempat lain, Emma menghela napas jengah. bagaimana lagi ini? apa yang harus dia katakan untuk meyakinkan Lea dan Gea kalau Echa tidak bersalah.

"lo berdua kenal Echa kan? mana mungkin dia mau ngelakuin hal serendah itu." ucap Emma menatap kedua sahabatnya secara bergantian.

saat ini mereka tengah berada di rumah Gea. sebenarnya bukan Emma sekali kalau mau menginap di rumah orang lain. ya, hari ini Gea meminta Lea dan Emma menginap di rumahnya karena kedua orang tuanya sedang berkunjung ke rumah kakek nenek. mungkin, besok pulang.

"ini bukan masalah kenal apa enggak ya Ma, ini masalah kita liat sendiri dengan mata kepala kita. " ucap Gea, antusias. se kecewa itu kah Gea? jujur, baru kali ini Emma melihat Gea berbicara lantang dan sangat serius dari sebelumnya.

"bisa aja kan kalo itu cuma tipu daya? bisa aja Floren-"
"Floren nyelakain dirinya sendiri? mana ada Emma... nggak bakal. gue nggak percaya sama teori lo kali ini." tambah Lea satu pendapat dengan Gea.

"lagian kenapa si lo yakin banget kalo Floren salah?" tanya Lea menyelidik. tidak takut dengan tatapan Lea, Emma malah balik menatap sang empu dengan tatapan tajam dan sinis.

"karna, gue pernah jadi kalian. tapi berbeda, bedanya, kalian cuma liat luaran Floren. kalo gue liat dalemnya dia. gue pernah denger dia ngomong sama orang lain yang gue juga nggak kenal siapa." Emma memberhentikan sejenak ucapannya, menarik napas perlahan, dan menatap kembali Lea dan Gea bergantian.

"intinya terserah kalian mau percaya apa nggak. gue nggak bakal paksa kalian buat memihak Echa, dan nyalahi Floren. begitupun sebaliknya. gue berharap lo berdua nggak bakal nyesel sama keputusan yang udah lo ambil."

***
perlahan Echa membuka kedua matanya, pertama yang ia dapati adalah Ardo. "Cha, lo nggak papa kan?" tanya Ardo yang tampak khawatir. dengan senyuman kecilnya, Echa menggelengkan kepala lemah. hanya itu yang bisa Echa jelaskan, karena selebihnya masih belum terkumpul niat untuk menjelaskan.

lemas, pusing- entahlah.

baru saja Echa melihat wajah panik Ardo, kini sang empu langsung melunturkan kepanikannya. Ardo menatap datar Echa, seperti masih ingin melanjutkan kekecewaannya.

"abang nggak jadi pergi?" tanya Echa membenarkan posisi duduknya.

"gimana bisa gue pergi kalo lo aja bikin khawatir gini?!" sahut Ardo membatin.

"jadi." sahut Ardo tanpa ekspersi. Echa hanya bisa tersenyum simpul menanggapi semuanya. apa yang harus dia lakukan selain itu? meminta Ardo untuk tidak pergi? tidak. Echa tidak bisa karena dia tahu, saat ini Ardo pasti sangat marah mendengar berita hari ini.

"maafin gue ya, gue nggak sengaja. semuanya terjadi gitu aja, ini fitnah." ucap Echa menundukkan kepala. Echa berusaha menjelaskan, membuat Ardo yakin, meskipun itu mustahil.

"kronologinya gimana?" tanya Ardo.

Echa menghela napas, apa yang harus dia katakan? mengatakan yang sebenarnya? tentu saja Ardo tidak akan percaya.

"mau gimanapun gue ngejelasin, lo nggak bakak percaya sama gue." sahut Echa seadanya. untuk saat ini Echa tidak mood baik untuk bercerita, mungkin besok dan kedepannya pun masih sama. tidak bisa bercerita.

sudahlah, semua Echa pasrahkan kepada waktu. cepat atau lambat, Echa yakin semua pasti akan terkuak dengan sendirinya.

"emang. emang gue nggak percaya. akhir akhir ini lo sering bikin gue malu. nggak pernah tuh gue ngajarin lo buat nyakitin orang yang nggak salah, terlebih itu temen lo sendiri. gue bener bener kecewa Cha sama lo." setelah puas mengatakan itu, Ardo langsung pergi keluar dari kamar Echa.

tepat saat menutup pintu pun Ardo sengaja menutup kasar pintu kamar karena marah. melihat semua itu, Echa hanya tersenyum getir. "nggak gue ceritain aja kayak gitu, apalagi gue ceritain. mungkin rumah dibakar tuh sama dia." gumam Echa menyelimuti penuh sekujur tubuhnya.

saat ini Echa tidak mau bersedih dulu. berfikir keras, juga tidak mau. kepalanya berat, pusing seperti akan pecah. perlahan hidungnya juga mulai tersumbat. tubuhnya selalu merasa dingin, rasanya seperti orang demam.

Next Part
.
.
.
.

ig. uv.heart01

Pecalungan, 27 Juni 2021.


HAI ECHA [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang