Jam menunjukkan pukul lima sore, Mahesa melepaskan kacamata dan mengusap wajahnya dengan gusar.
Lembaran kertas berisi materi persiapan ujian itu disingkirkan, laptop miliknya turut ditutup. Matanya lelah sedangkan kepalanya ingin meledak saja.
Semenjak pertemuannya dengan Gavin waktu lalu, Mahesa menjadi tak fokus melakukan sesuatu. Jujur saja permasalahan itu membuatnya muak, dan Mahesa semakin benci ketika hal-hal seperti ini mengusik pikirannya.
Lantas dilangkahkan kakinya untuk beranjak dari kamar, dia butuh minum. Tenggorokannya terasa kering luar biasa, bisa berbahaya jika dirinya sampai dehidrasi. Mungkin segelas air bisa membantunya.
Di dapur ternyata sudah ada Sean. Lelaki yang lebih muda darinya itu terlihat sedang membuat teh dengan cangkir kecil. Baru akan melangkah mendekat tapi perban di kaki Sean berhasil mengalihkan perhatian Mahesa.
"Se, kaki lo kenapa?"
Yang ditanya berbalik badan lantas tersenyum tipis, "Eh, Bang Hesa!" sapa Sean ramah, "Kaki gue? Oh, ini cuma luka sedikit." lanjutnya.
Mahesa mengernyit curiga, "Luka apa memangnya?"
"Gue jatuh terus lecet." ucap Sean seadanya.
Mahesa terdiam sejenak lantas mengangguk sembari tersenyum tipis. Ia berjalan mengambil gelas lalu menuang air putih hingga penuh, dalam hitungan detik segelas air putih itu tandas.
"Bang Hesa, gue mau tanya. Boleh?" ucap Sean setelah menimang beberapa hal di kepalanya.
Mahesa beralih menatapnya, "Tanya apa?"
"Eum... misalnya lo ada di suatu kondisi yang mana mengharuskan lo pilih tinggal sama ayah atau bunda, kira-kira lo bakal pilih siapa, Bang?"
Mahesa tercengang, pertanyaan Sean sungguh tidak terduga. Ada apa dengan anak SMA di hadapannya ini?
"Kenapa tanya itu?"
Sean mengusap tengkuknya dengan canggung, "Gak apa-apa, Bang. Jangan dijawab deh kalau gitu, sorry-"
"Gue pilih figur ibu." ucap Mahesa tiba-tiba.
Sean menatapnya dalam diam, sejenak menghentikan kegiatannya mengaduk teh di cangkir berwarna ungu itu.
"Gue gak punya ingatan bahagia atau pun hal menyenangkan dari seseorang yang gue sebut 'papa'. Sedangkan mendiang mama gue adalah orang yang berjuang sendirian demi anaknya bisa hidup dan bahagia. Jadi sampai kapan pun jawaban gue masih sama."
Sean menangkap tatapan mata Mahesa yang kosong saat mengatakan itu, merasakan sebuah luruhan emosi yang begitu hebat di dalam sana. Hatinya turut sedih ketika mengetahui bahwa Mahesa tak lagi memiliki ibu.
Mahesa kini tersenyum tipis sembari menatapnya, "Gue gak tahu apa yang sedang terjadi, tapi kalau lo ada di kondisi ini, gue harap lo pilih figur orang tua yang selalu peduli sama kehidupan anaknya. Setidaknya, sosok itu yang jadi semangat hidup lo kedepannya."
Sean balas tersenyum, tapi tak bisa dibohongi jika perasaannya belum benar-benar lega. Masih ada benang kusut yang belum dapat Sean luruskan, sedikit banyak itu membuatnya sesak.
Tapi ayah dan bunda bercerai. Mereka lebih peduli dengan diri mereka sendiri, dibandingkan dengan aku... putra mereka yang bahkan belum menyelesaikan masa remaja.
••
Riki menaut tangannya dengan gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Abu-Abu
FanfictionSejatinya, dunia ini tidak hanya menghadirkan sesuatu yang bahagia. Manusia hidup dengan norma, sedangkan dunia berdiri dengan hukumnya. Anak-anak adalah sebagian afeksi dari sudut kecil semesta raya. Titik-titik jiwa saling berkaitan membentuk alia...