Dewasa : Sudut Kehilangan

1K 187 0
                                    

Pagi ini matahari bersinar cerah, tapi Sean terduduk di ranjangnya tanpa semangat.

Sepi.

Ayah dan bundanya sedang ada di luar, mungkin membicarakan sesuatu? Entahlah, Sean sedang tak ingin tahu.

Dilihatnya seekor burung gereja sedang bertengger pada dahan pohon cemara di dekat jendela kamarnya. Burung itu menatap Sean bagai mengasihani. Sean setuju, dirinya memang tampak menyedihkan. Kakinya dibalut perban, lalu punggungnya yang lebam keunguan.

Karena tubuhnya yang sakit, Sean tidak bisa berangkat ke sekolah hari ini. Hah... bosan sekali, pasti teman-temannya di rumah abu-abu sedang sibuk dengan aktivitas pribadi, sedangkan dia hanya bisa terduduk di ranjangnya.

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk, selanjutnya masuklah seorang pelayan setengah baya. Sean tersenyum kepada wanita itu, tepatnya si wanita yang membantu menjaganya sejak kecil.

"Sean, bagaimana keadaannya?" tanya wanita itu dengan lembut. Tangannya terangkat mengusap halus rambut Sean.

"Kata dokter lukanya akan segera sembuh. Bibi tahu gak? Punggungku kemarin diperiksa rontgen dan untungnya gak ada yang parah di luka punggung." jelas Sean.

Elizabeth mengangguk-angguk mendengarkan ceritanya. Anak itu masih sama ketika bercerita tentang hari-harinya, lugu sekali, membuat Elizabeth hampir meneteskan air matanya.

"Bibi senang kalau Sean cepat sembuh. Oh iya, bibi mau bilang sesuatu tapi Sean jangan tersinggung ya?"

Sean mengangguk, menunggu apa yang akan dikatakan oleh pengasuhnya itu.

"Kalau tuan sedang marah, tolong Sean jangan dekat-dekat dulu." ucap Elizabeth hati-hati.

Sean tertegun, "Tapi ayah hampir melukai bunda."

Elizabeth mengangguk, "Iya, bibi paham. Tapi Sean jadi terluka? Cukup jauhkan nyonya dari tuan, jangan seperti ini lagi ya?"

Sean mengangguk lemah, dia sadar telah membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.

Selanjutnya pintu kamar terbuka lagi, menampakkan ayahnya di sana. Elizabeth bergegas berdiri dan berpamitan, ayah dan anak tersebut dirasakannya tengah butuh ruang untuk berbicara.

Sean menunduk ketika ayah duduk di sisi ranjang. Lelaki paruh baya itu menatap putranya dengan perasaan bersalah.

"Sean?" panggil ayah pelan.

Sean baru berani menatap, menunggu apa yang akan keluar dari bibir ayahnya.

"Ayah minta maaf."

Hening sejenak, Sean sedang bergelut dengan pikirannya.

"Ayah dikuasai emosi, ayah minta maaf sama kamu. Ayah... merasa bersalah." ucap lelaki paruh baya itu.

"Apa ayah udah minta maaf sama bunda?" ujar Sean akhirnya.

"Sean, ayah—"

"Seharusnya bukan aku yang pertama kali dapat permintaan maaf dari ayah, karena bunda jauh lebih sakit."

Ayahnya menunduk sejenak, "Ayah akan bercerai dengan bundamu."

Sean tercengang bersama napasnya yang tercekat. Bukan, bukan ini yang ingin dia dengar.

"Ayah gak bisa lagi mempertahankan rumah tangga ini. Ayah harap kamu mengerti." sahut ayah lagi.

"Kenapa?" tanya Sean dengan suara lirihnya, tapi tak ada jawaban dari sang ayah.

"Jadi yang bunda bilang itu benar?" tanya Sean kembali, sudah tak habis pikir dengan lelaki yang disebutnya sebagai 'ayah' tersebut.

"Sean, dengarkan ayah—"

Rumah Abu-AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang