Mahesa membuka mata, dahinya mengernyit ketika dilanda pusing, kepalanya berdenyut-denyut nyeri. Ia meringis sejenak lantas mencoba untuk memfokuskan pandangan.
Yang Mahesa lihat sekarang ini justru bukanlah tempat yang ingin ia ingat kembali. Apalagi barang-barangnya yang masih sama, Mahesa semakin benci akan memori yang menyeruak kembali.
Kamar lamanya.
Ketika ia mencoba bangkit, tiba-tiba pintu kamar terbuka menampakkan sesosok wanita paruh baya yang sedikit terkejut.
"Mahesa, udah bangun? Badan kamu gimana rasanya, hm?"
Mahesa melengos, ia tak mau menatap sosok yang kini terduduk di sisi ranjang.
"Makan dulu, yuk? Mama buatin bubur ya? Kata dokter, kamu demam sama asam lambung." ucap wanita itu lagi.
Mahesa masih diam, membuat wanita yang menjadi mama tirinya tersebut tersenyum getir.
"Mahesa?" panggil beliau dengan sabar, berharap putranya itu mau menyahut.
Tak lama, seseorang lagi muncul dari balik pintu. Itu Gavin, saudara tirinya.
"Ma? Ada apa?" tanya Gavin setelah melirik Mahesa sejenak.
"Ini, Mahesa harus makan biar perutnya gak kosong lagi." balas sang mama.
Netra teduh itu menatap Mahesa kembali, "Mahesa, makan ya? Mama buatin bubur, oke? Atau mau yang lain? Nanti mama buatin."
Pertanyaan itu dibiarkan menggantung, Mahesa yang tetap diam saja membuat Gavin geram.
"Lo gak punya mulut?" tanya Gavin datar.
"Gavin, bicaranya dijaga!" tegur mama, rautnya tak suka ketika melihat Gavin bersikap seperti itu.
Mahesa mendecih di dalam hati.
Gavin menghela napasnya, "Maaf. Mama buatin bubur aja, aku pastiin dia mau makan."
Wanita paruh baya itu menatap kedua putranya bergantian, "Yaudah, mama mau ke dapur dulu. Kamu jagain Mahesa ya? Ingat, jangan bertengkar!" ucap sang mama, dibalas anggukan oleh Gavin.
Setelah mama keluar, Mahesa bergerak menyingkap selimut. Ingin beranjak dari ranjang tapi Gavin lebih dahulu menahan tangannya.
"Mau kemana?"
"Pergi." ucap Mahesa singkat.
Gavin mengeratkan genggamannya, "Gak usah aneh-aneh, lo belum sembuh. Nanti pingsan di jalan lagi cuma ngerepotin orang."
Mahesa mencoba melawan tapi tenaganya yang belum pulih justru menyulitkan dirinya. Tatapan tajamnya lantas ditujukan kepada si saudara tiri.
"Lo gak dengar? Gue mau pergi. Lepas!" ucapnya kesal.
Gavin tersenyum meremehkan, "Lo lepasin tangan gue aja gak kuat, gimana mau pergi?"
"Lepasin, sialan!" desis Mahesa tajam.
Gavin menatapnya dalam lalu melepas cengkraman, "Dengar, Mahesa. Lo baru boleh pergi setelah makan bubur buatan mama, hargai mama yang udah jagain lo semalaman di sini!" ucapnya menekan.
"Hargai gue yang pernah kehilangan seseorang demi mama lo itu." balas Mahesa cepat.
Gavin sontak memutus kontak mata, tak tahan dengan saudara tirinya yang kembali pada titik ini.
Sial, memuakkan.
Mahesa terkekeh sarkas, "Lo bahkan gak tahu apa-apa kan?"
Alis Gavin menukik, "Apa maksud lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Abu-Abu
Fiksi PenggemarSejatinya, dunia ini tidak hanya menghadirkan sesuatu yang bahagia. Manusia hidup dengan norma, sedangkan dunia berdiri dengan hukumnya. Anak-anak adalah sebagian afeksi dari sudut kecil semesta raya. Titik-titik jiwa saling berkaitan membentuk alia...