Kacau : Luapan Emosi

998 161 1
                                    

Penghuni rumah abu-abu setuju jika akhir-akhir ini Mahesa memang mudah marah. Entah apa sebabnya, bahkan hanya masalah kecil pun mampu membuatnya meluapkan emosi. Jujur saja sikapnya ini membuat penghuni lain merasa khawatir sekaligus takut, lantaran Mahesa tak pernah seperti ini sebelumnya.

Puncaknya hari ini, Mahesa marah sekali ketika mendapati kotak pensil di atas meja belajarnya berantakan. Tubuhnya sudah lelah karena sibuk kuliah dan kepalanya terasa penuh sesak, ia butuh istirahat tapi malah mendapati meja belajarnya diacak-acak begini. Dengan kesal, ia berteriak dari ruang tengah mencari pelakunya.

"Siapa yang ke kamar gue, sialan?! Ngerti etika pinjam barang gak?!"

Juang langsung menghampirinya untuk menenangkan, sementara Riki sudah panik bersama Sean di kamar, takut jika Mahesa semakin di luar kendali. Ditambah Aiden belum pulang dan Jonathan yang memutuskan menginap di apartemen Cherrie semenjak kejadian itu, biasanya hanya dua orang ini yang bisa menenangkan Mahesa pada saat-saat yang tidak kondusif seperti sekarang.

"Siapa sih yang masuk kamar gue?!"

"Bang, sabar. Gue juga gak tahu." ucap Juang jujur.

"Hari ini siapa aja yang ada?" tanya Mahesa tajam.

"Gue, Riki, Sean, sama Bang Segara yang-"

Belum sempat Juang menyelesaikan ucapannya, Mahesa sudah lebih dulu pergi. Ia menuju kamar Segara dengan aura gelap, rahangnya mengeras karena emosi.

Pintu kamar Segara langsung dibuka tanpa diketuk dahulu, terlihat Segara kini sedang mengerjakan gambarnya dengan beberapa pensil milik Mahesa.

Tanpa kata, yang lebih tua langsung merebut barang miliknya. Segara terkejut tentu saja, gambar proyeknya jadi tergores dan tidak rapi. Akan sulit dibenahi karena goresannya pada titik yang fatal, padahal ia sudah lelah mengerjakannya dari pagi.

Segara dengan raut datar beranjak dari kursi belajar, melemparkan kaca matanya dengan kasar ke atas meja begitu saja. Tubuhnya menghadap Mahesa yang saat ini sama emosinya.

"Lo apa-apaan, Bang?" tanya Segara pelan, nada bicaranya menusuk.

"Lo yang apa-apaan? Pantes gak pinjam barang kayak gitu?" balas Mahesa tak kalah menusuk.

"Gue cuma pinjam pensil karena pensil gue habis, sebelumnya gue pinjam pun lo gak masalah. Sekarang kenapa tiba-tiba dipermasalahin? Lo kalau memang gak ikhlas tuh bilang!" jelas Segara marah.

Mahesa tersenyum miring, "Shit, gue muak sih sama lo yang kayak gak punya etika gini. Gue diem bukan berarti mewajarkan kesalahan lo, Segara. Lo boleh pinjam, tapi apa harus berantakin meja belajar gue?!" sentaknya.

Segara mengernyit, "Lo kenapa sih, Bang? Ngapain sampai bawa-bawa etika? Ya oke, gue memang salah karena ngeberantakin kotak pensil punya lo, gue minta maaf! Tapi lo di sini bilang seolah-olah gue manusia yang gak pernah beretika!"

Segara tak habis pikir, Mahesa telah menyinggungnya perihal etika yang mana sangat sensitif dibicarakan. Harga dirinya seperti diinjak-injak. Ayolah, mereka sama-sama lelaki keras kepala yang sedang lelah.

"Denger, gue lagi capek. Bisa gak sih lo diem hari ini? Bisa gak jangan buat ulah dulu?" ucap Mahesa datar.

"Yang capek bukan cuma lo, semuanya juga capek! Dari kemarin lo emosian mulu, kenapa sih?! Ada masalah sama gue? Bilang aja, brengsek!" ucap Segara tak terima.

Mahesa gelap mata. Segara ibarat menyulut api yang sudah berkobar. Tak ada yang mengalah, maka perkelahian sepertinya sudah tidak bisa dihindari.

"Ngomong apa lo?" tanya Mahesa pelan, tatapannya tak ada toleransi.

Rumah Abu-AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang