Semenjak kedatangan Daniel semalam, Riki menjadi lebih banyak bicara dan berinteraksi di luar kamar bersama penghuni lain. Daniel benar-benar sama dengannya, Riki merasa ada perasaan satu nasib.
Topik pembicaraannya mengalir seru, dari pembahasan mengenai kesulitan belajar sampai tekanan ujian dibahas tuntas bersama Daniel. Keduanya kini tengah mengobrol sambil bermain lego di ruang tengah, asyik sekali sampai menarik perhatian beberapa penghuni lain. Mereka senang, Riki tampak lebih terbuka.
Aiden dengan pakaian santainya turut bergabung, ikut menyusun lego-lego di atas meja dan memperhatikan keduanya.
"Kalau gue selalu sakit perut sih pas ujian." keluh Riki.
"Hah? Lo juga sakit perut? Gue kira gue doang." balas Daniel.
Riki mengangguk lugu, "Apalagi sakitnya muncul cuma pas masuk kelas aja, kan ngeselin ya?"
Daniel tertawa, "Bener banget! Asli gue heran, ini sembuhnya gimana?"
"Gue pernah eksperimen sama badan gue sendiri. Nah jadi gini, pas rasa sakitnya muncul gue coba tetap di kelas dan lanjutin belajar. Gue mau tahu seberapa jauh badan gue bisa bertahan, ternyata gak sampai mau pingsan juga. Dalam arti rasa sakitnya masih bisa ditoleransi sama badan. Tapi ya balik lagi, rasa sakitnya mengganggu." jelas Riki.
"Widih keren, lo temuin penyebabnya gak?" sahut Daniel.
"Dugaan pertama, rasa sakitnya muncul karena kita khawatir saat belajar. Dugaan kedua, kita terlalu berlebihan mikirin persaingan di sekolah."
"Berarti kesimpulannya, rasa sakit itu ada karena kita gak bisa tenang?" tanya Daniel.
Riki mengangguk, "Sekarang kita tahu akar masalahnya, tapi keadaan sama sekali gak berubah."
"That's right, psikiater gue bahkan gak bisa membantu banyak." sahut Daniel.
Mendengar obrolan dua anak itu membuat Aiden diam-diam meringis miris. Ketakutan belajar mereka adalah nyata, tentunya bukan hal yang dapat disepelekan karena bahkan sampai melibatkan psikiater.
"Sakitnya sejak kapan?" tanya Aiden.
"Kalau gue udah dari sekolah dasar, Bang." ucap Daniel.
"Gue masuk SMA ini baru muncul." sahut Ni-ki.
Aiden mengernyitkan dahi, "Bentar, Daniel lo begini sejak sekolah dasar? Lo ke psikiater juga dari usia segitu?"
Daniel mengangguk lugu, "Gak usah kaget, Bang. Anak akselerasi kebanyakan punya psikiater masing-masing. Beberapa memang ada yang sejak usia dini, kayak gue misalnya."
Aiden tercengang, fakta ini membuatnya mengumpati sesuatu yang disebut tekanan siswa. Sialan benar, mereka bahkan masih terlalu muda untuk mengunjungi ahli psikologi!
"Orang tua lo berdua tahu?" tanya Aiden lagi.
"Tahu, bahkan mereka dulunya juga begini." sahut Riki, diangguki Daniel.
Aiden diam-diam mulai menyadari pola permasalahan di sini. Cara asuh dan tekanan yang didapat selalu berulang, jadi mereka bukan satu-satunya korban dan orang tua mereka bukan satu-satunya pelaku.
Masalah ini seperti sebuah lingkaran yang tak berujung. Aiden khawatir, orang-orang yang telah menerapkan pola asuh demikian kepada anaknya adalah korban yang pernah mendapat pola asuh sama. Kesimpulannya, semua korban berpotensi menjadi pelaku juga.
Aiden menghela napas, "Pasti sulit buat kalian."
Daniel mengangguk, "Sulit, tapi mau gimana? Hidup anak-anak memang begini, Bang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Abu-Abu
Fiksi PenggemarSejatinya, dunia ini tidak hanya menghadirkan sesuatu yang bahagia. Manusia hidup dengan norma, sedangkan dunia berdiri dengan hukumnya. Anak-anak adalah sebagian afeksi dari sudut kecil semesta raya. Titik-titik jiwa saling berkaitan membentuk alia...