[12]

116 28 0
                                    

"BR*NGS*K!!!"

Noa melayangkan pukulan kuat ke wajah Yedam.

Anak itu terpental jatuh ke tanah. Ia meringis kesakitan. Darah segar mengalir di sudut bibirnya yang kini berubah warna kebiruan.

"COBA KATAKAN SEKALI LAGI!"

Noa masih diliputi emosi yang membara. Otot-ototnya menegang. Nafasnya tercekat. Kepalanya panas. Dalam kondisi saat itu sulit baginya untuk berpikir jernih. Ia tak habis pikir dengan pernyataan Yedam barusan.

Yedam bangkit dengan tubuhnya yang tertatih. Bajunya kotor kena tanah. Untung saja, saat itu malam dan mereka tidak berada di tengah kerumunan. Jika tidak, image yang selama ini dibangunnya pasti sudah runtuh porak-poranda, pikirnya saat itu.

Yedam menyeringai. Kemudian kembali menatap Noa tanpa ada rasa takut sedikitpun.

"Apa kau tuli? Kurasa pernyataanku sudah cukup jelas tadi" sahut Yedam sembari membersihkan seragamnya.

Debu yang menempel di kemeja musim panasnya mulai berjatuhan ke tanah.

Noa mencengkeram kerah leher seragam anak itu. Hanya tersisa beberapa senti saja antara wajah mereka.

"Kau tak serius kan?" tanyanya lagi. Frustasi.

Yedam tersenyum tipis.

"Apa aku pernah tidak serius? Yang kukatakan itu benar adanya..."

"Hari itu, tidak ada Kim Junkyu di rumah sakit"

Noa melepaskan kerah anak itu. Matanya nanar, hampir mengeluarkan bulir-bulir air mata. Ia mencengkeram kepalanya dengan kuat.

"SIAAALLL!!" erangnya dengan penuh emosi.

Noa merutuki dirinya sendiri karena sudah mempercayai kata-kata Yedam. Kenapa hari itu ia tak menanyakannya lebih dulu? Kalau saja ia lebih teliti sedikit, ia tak perlu menghadapi rasa sesal yang menyesakkan ini.

Sejak kematian Choi Raesung malam itu, Noa selalu dihantui mimpi buruk. Bayangan Raesung yang jatuh ke tanah dan bersimbah darah selalu muncul di dalam tidurnya.

Malam itu, Noa menyaksikan semuanya. Mulai dari Raesung yang memasuki gerbang sekolah dengan perasaan was-was dan gelisah hingga mengacak-acak rambut hitamnya dengan frustasi sambil terus mengamati layar ponsel di tangannya.

Noa dapat merasakan penderitaan anak itu. Terlebih setelah Raesung banyak bercerita tentang hidupnya yang penuh luka dan perjuangan. Meski mengetahui hal itu, Noa tak bisa melakukan apa-apa. Dengan bodohnya ia menuruti saja apa kata Yedam, tanpa menaruh rasa curiga pada anak itu.

Kesalahan kecil yang berdampak besar bagi hidupnya.

***

"Kenapa kau melibatkanku?"

Noa menatap Yedam dengan nanar. Tak disangka, bulir-bulir air mata juga mengalir deras dari pelupuk mata anak itu. Ia memalingkan wajah, berhenti menatap Noa.

"...Apa kau sama sekali tidak kasihan pada anak itu?" tanya Noa lagi.

Suaranya serak karena air matanya mengalir sangat deras tak terbendung.

"Aku tidak ingin menderita sendirian"

Yedam membuka suara. Anak itu masih memalingkan wajahnya dari Noa.

Tentu saja, bukan cuma Noa yang menderita, ia juga. Setelah Raesung tersungkur ke tanah, Yedam baru saja menyadari perbuatan mengerikannya. Namun saat itu, ego masih menguasai dirinya.

"Ini salahnya, bukan salahku. Ia tak seharusnya menggangguku"

Yedam terus saja melafalkan kalimat itu sebagai tameng atas dosanya, meski hati kecilnya sendiri menolak mengakui itu.

ACQUIESCE: A THREAD | SILVERBOYS ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang