Sosok Pengobat Luka

4 1 0
                                    

Aja, aku udah izin sama ayah kamu, jadi kita udah boleh pergi?”

“ha? pergi? kemana?”

Dr. Gandi hanya diam dan berbicara kepada ayah Raza.

“Pak, karena Raza udah pulang, jadi saya izin langsung membawanya ya pak?”

“iya silahkan nak. Hati-hati di jalan ya.”

“aamiin InsyaAllah pak. Assalamualaikum.” Mencium tangan ayah Raza.

Dr. Gandi langsung menarik Raza keluar.

“ehh tunggu, salam sama ayah dulu.”

“oh iya, aku lupa. Maaf.”

“assalamualaikum yah.”

“Waalaikumsalam nak.” Jawab sang ayah.

Mereka pun menaiki mobil dan mulai perjalanan.

“kita kemana?”

“lihat aja nanti.”

Ternyata Dr. Gandi membawa Raza ke cafe tempat biasa mereka makan. Sekarang mereka duduk berhadapan. Dr. Gandi memesan minuman kesukaan Raza yaitu cappuchino dingin. Dr. Gandi pun mulai berbicara. Ia sangat gugup.

“oke, aku udah mulai ngomong?”

“seperti biasa aja. Kan cuman sama aku.”

“ini beda momen mbak, makanya panik.”

Cappuchino datang. Dr. Gandi mulai meminumnya, sedangkan Raza hanya menatap Dr. Gandi yang terlihat aneh.

“kamu mau menyatakan perasaan? Atau mau ngelamar?”

Dr. Gandi tersedak.

“ehh kok tau? Astaga... jadi gak romantis kan. Pura-pura gak tau aja dulu gitu.”

“ha? Iya? Ngelamar siapa? Hayo lohh... kenalin sama aku, siapa?”

“ahh lupain aja. Langsung ya. Raza Azhura. Kamu yang selalu memahami aku. Selalu bikin aku bahagia. Selalu bikin aku tertawa girang. Yaa aku merasa hidup kembali.”

“sebenarnya ada apa sih?”

“tunggu, biar aku sampaikan dulu apa yang harus aku sampaikan.”

Raza mulai tertawa. “oke oke...lanjutt.”

“mungkin ini terlalu singkat, tapi insyaAllah aku yakin kalau kamu memang orang yang tepat. Jujur aku sayang sama kamu. Gak tau kapan perasaan ini muncul, tapi aku benar-benar tulus sayang sama kamu. Apakah kamu mau nikah sama aku?”

“ha? Wahh bercanda ini. Gak lucu loh Gan.”

“aku serius. Aku yakin kamu tau gimana ekspresi aku kalau lagi serius dan bercanda. Gak pernah aku seserius ini.”

“oke...”

“ha? Oke?”

“belum selesai pak... oke gini, terima kasih udah sayang sama aku. Dan terima kasih udah memberikan segalanya sama aku. Sama seperti kamu, aku juga telah diberikan kebahagiaan, tawa, dan merasa bahwa aku telah dicintai kembali. Namun seperti yang kamu tau, masa lalu masih meninggalkan jejak. Aku bukan menolak, tapi beri aku waktu sampai aku siap. Kalau memang kamu mampu. Tapi kalau tidak, kamu berhak untuk menyerah.”

“aku paham maksud kamu, dan aku mengerti bagaimana perasaan kamu. Aku terima. Aku akan menunggu sampai kamu siap. Sembari aku memperbaiki diri menjadi sosok lelaki yang benar-benar siap mengimami kamu.”

“setelah kita menghabiskan minum ini, kamu gak perlu antar aku. Aku ada urusan sebentar.”

“yee GR. Siapa juga yang mau nganter kamu.” Gandi berusaha mencairkan suasana.
Raza menendang kaki Gandi.

“Sakit atuh mbak.” Keluh Gandi.

“oke minum aku udah habis, aku pergi. Assalamualaikum.”

“ehh bentar.” Gandi menghentikan Raza.

“ada apa?”

“aku lupa memberikan ini.” Gandi mengeluarkan sebuah cincin dari saku jas nya.”

“tapi kan aku belum jawab ya.”

“anggap ini sebagai bukti bahwa aku akan menunggu. Bisa dibilang komitmen. Bahwa aku benar-benar serius. Mana tangannya.”

Gandi pun memasukkan cincin itu ke jari manis Raza.

“Sangat cantik. Terima kasih. Aku pergi dulu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Gandi tersenyum.

KALA ITUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang