Jam menunjukkan pukul 3 sore. Seperti biasa angin berhembus membuat dedaunan di tepi pantai berayun. Tiba-tiba Rama datang dari belakang.
“Cappuchino dingin satu.” Rama memberikan itu kepada Raza.
Mereka duduk di kursi dekat pantai. Mereka lama terdiam. Rama memulai pembicaraan.
“waktu sudah banyak berlalu ternyata.”
“ya, dan di waktu yang berlalu itu, aku berusaha untuk melupakanmu.” Jawab Raza.
Rama menatap Raza.
“setelah kamu mengatakan untuk pergi ketika lulus sekolah, aku selalu kesini. Berharap kamu akan datang secara tiba-tiba. Namun akhirnya kamu selalu mengirimkanku pesan, selalu menyemangatiku. Walaupun ragamu tak ada di dekatku, tapi canda tawamu masih menghiasi kehidupanku.”
“aku selalu memikirkan cara agar kamu bahagia.”
“namun ketika kamu meminta maaf secara tiba-tiba. Memintaku untuk mengikhlaskanmu, merelakanmu, dan melepaskanmu. Aku selalu menunggu kehadiranmu di tempat biasa kau datangi. Kadang setiap kamu pulang kampung, aku selalu ingin bertemu denganmu untuk mengatakan sesuatu. Tapi niatku hilang setelah kamu benar-benar pulang. Aku selalu berdoa agar kamu lewat di depan rumah dan aku bisa melihatmu, walaupun kamu tidak melihatku. Dan ketika teman-teman yang lain memberitahukan kepadaku bahwa kamu jadian dengan Meta, aku tersentak. Menyadari bahwa aku bukanlah lagi wanita yang kamu harapkan. Masih dengan hal yang sama. Masalah status sosial yang mengganggu pikiranmu.”
“itu demi kebaikanmu.”
“aku tau ini demi kebaikanku, tapi tidak dengan cara seperti ini. Melarikan diri dari kenyataan. Membuatku merasa bersalah. Membuatku menangisi diriku sendiri. Seperti yang aku bilang, jikalau memang kamu menyukai orang lain, bilang padaku. Aku tidak akan marah atau kecewa, tetapi aku bisa membatasi sikapku, membatasi perasaanku.”
Raza mulai mengeluarkan air mata.
“dan sebelum aku menyesali karena tidak memberitahumu. Aku mengatakan ini sekarang. Bahwa aku mengalami masa-masa sulit dalam proses melupakanmu. Tidak mudah memang. 8 tahun bertahan untuk mencapai tujuan yang sama, akhirnya runtuh karena aku tidak memahami isi hatimu. Aku tidak ingin bertindak seolah-olah aku yang paling terluka. Tapi aku hanya ingin tahu, apakah hal utama yang membuatmu ingin aku melepaskanmu?” kata Raza.
“akan aku jawab. Sebelumnya aku minta maaf karena kamu mengalami masa-masa sulit ini. Membuatmu begitu terluka. Namun tanpa kamu sadari, aku juga berusaha untuk mempertahankan hubungan ini. Setiap waktu aku juga merindukanmu. Aku juga berdoa agar kamu baik-baik saja. Kadang aku ingin mencari masalah agar kamu lebih mudah untuk membenciku, untuk melupakanku. Tapi tidak, aku rasa itu akan lebih menyakitimu. Ketika kamu ingin bercerita, aku selalu merespon. Kadang kamu selalu bertanya, aku menjawabnya. Karena aku masih ingin berperan sebagai sesuatu yang bisa mengobati lukamu. Tetapi sepertinya aku adalah sumber lukamu. Dan sekarang, aku tidak ingin mengecewakan dia yang sudah berharap penuh kepadaku, tatapi aku juga tidak ingin membuatmu terluka.”
“dan hingga pada akhirnya kamu lebih memilih untuk tidak mengecewakannya.”
“bukan begitu maksudku. Orang tuaku menyukainya. Sedangkan kamu tidak dekat dengan orang tuaku. Aku paham, karena beberapa hal yang mungkin membuatmu seperti ini. Tapi aku juga tidak ingin membuat orang tuaku terluka. Aku tidak berniat memilih untuk mengecewakanmu, tetapi aku hanya pasrah dan mengatakan bahwa jodoh tidak kemana.”
“saat itu aku menyerah, karena aku tidak ingin menghalangi kebahagiaanmu. Tapi sekedar kamu tahu bahwa disetiap doaku, aku berharap agar kamu bahagia dengan orang lain. Aku tidak mendoakanmu agar bahagia bersamaku. Aku tidak ingin egois dan memaksakan takdir untuk menyatukan kita. Apalagi aku sudah berusaha untuk menjalani hidup dengan mengikhlaskanmu,”
“aku hanya ingin meminta maaf untuk semua luka yang pernah tertoreh dan terima kasih untuk kebahagiaan yang pernah hadir. Kamu sangat memahamiku, mengerti akan perasaanku.”
“aku juga meminta maaf atas segala kesalahan. Dan aku berharap agar kamu tidak mengecewakannya.”
Raza menghapus air matanya. Mengkondisikan perasaannya. Ia pun mulai meminum cappuchino nya. Rama memperhatikannya. Tiba-tiba Rama melihat cincin di jari manis Raza.
“oh ya, karena kita sudah berbaikan. Aku ingin memberitahumu kalau aku akan melamar Meta di waktu dekat ini.”
Raza tersedak.
“lohh kenapa?”
“gak papa, kamu memberitahuku disaat aku lagi minum.”
“hati-hati dong mbak. Gimana caranya ngelamar cewek? Aku gak paham.”
“tinggal bilang aja, mau gak nikah sama aku? Trus kasih cincin kalau bisa.”
“jadi cincin yang di jari kamu itu cincin tunangan?”
“ha? Ohh nggak. Ehh bukan nggak, tapi belum.”
Rama berpikir. Ia teringat kata-kata Raza yang ingin menikah setelah Rama menikah.
“lebih baik aku mempercepat hubungan mereka.” Kata Rama dalam hati.
“tapi Gandi baik loh orangnya. Nikah gih sono ama dia.” Kata Rama kepada Raza.
“tunggu waktu yang tepat.” Kata Raza.
“apakah janji kamu agar menikah setelah aku itu benar?” tanya Rama.
Raza menatap Rama.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA ITU
Teen Fictionseperti inilah resiko ketika kita mencintai seseorang yang belum tentu mencintai kita. Apalagi ini adalah cinta yang datang untuk pertama kalinya. Kata orang, cinta pertama itu sulit untuk dilupakan. Dan benar saja, itu adalah hal yang sangat sulit...