Laut terbentang luas. Ombak bergulung-gulung. Angin bertiup kencang. Raza berada di tepi pantai. Ia duduk sambil memperhatikan cincin yang diberikan Gandi.
“setelah kamu pergi, aku selalu duduk disini sambil menunggumu datang bersama motor merah yang biasa kau kendarai. Aku juga selalu menunggu hari libur panjang dan berharap kamu akan pulang. Aku selalu melihat jalan raya, berharap kamu tiba-tiba lewat di depan rumah. Aku selalu melihat jembatan di persimpangan masuk rumahmu, berharap kamu melintasinya. Dan sampai saat ini aku masih melakukan itu. Kadang ketika kamu benar-benar pulang, aku selalu berdoa agar aku bisa melihat wajahmu walaupun hanya sekilas. Kadang aku menangis ketika mendengar musik yang biasa kamu nyanyikan. Begitu lama perasaan ini harus kulupakan dan aku ikhlaskan. Begitu sulit pula aku menerima kenyataan bahwa sesuatu yang selama ini aku pertahankan telah runtuh. Yang selama ini aku genggam, telah lepas dan menghilang. Aku juga berpura-pura kepada angin, bahwa aku tidak merindukanmu sama sekali. Aku mendustai bumi bahwa aku telah melepaskanmu dengan ikhlas. Tapi tidak, itu hanya sebatas penghibur diri yang masih terluka. Dan sekarang cincin ini melingkari tanganku. Aku tidak ingin orang yang memberikan ini menjadi korban dari luka masa laluku. Salahku yang tak bisa lepas. Namun saat ini ku sadari bahwa aku harus bebas dari rantaian masa laluku. Apakah aku harus menerimanya sekarang? Atau aku harus menunggu sampai ia benar-benar bersama dengan orang lain?”
Raza mulai menangis terisak-isak. Ia bingung harus bagaimana. Ia bingung dengan posisinya sekarang. Apa yang harus ia lakukan?
Ternyata Gandi mengikuti Raza. Ia khawatir Raza akan terluka. Namun ia melihat Raza duduk di tepi pantai sambil menangis.
“haruskah aku hampiri? Atau aku biarkan dia sendiri dulu?” tanya Gandi dalam hati. Ia teringat dengan Melati. Gandi menelfon Melati agar ia bisa menghibur Raza.
10 menit kemudian Melati datang. Melati menghampiri Gandi dan bertanya kenapa Raza menangis.
“mungkin aku telah membuat ia terluka.” Jawab Gandi sambil menghela nafas panjang.
“aku melamarnya, namun ia memintaku untuk menunggu.” Kata Gandi.
“ha? Lamar? Serius? Pasti dia sedang mengalami masa sulit. Aku akan kesana. Dan abang, jangan merasa bersalah. Ia mungkin butuh waktu untuk berpikir. Wajar ini semua terjadi. Abang pergi aja, biar nanti aku yang bawa dia pulang.”
“makasih ya Mel. Sorry ya, ganggu calon manten.”
“iya gak papa. Lagian acara nikahnya sore. “
“oh iya, kamu nikah sekarang. Balik gih. Pasti semua orang panik, cari kamu dimana.”
“aku tadi udah bilang sama ayah, ibu, dan bang Bayu. Bima juga udah aku telfon. Jadi aman.”
“yaudah aku gak jadi pulang, takut manten nanti telat.”
“terserah abang aja deh.”
Melati pun menghampiri Raza dan langsung memeluknya.
“Ja, kenapa? Kok nangis.”
“nangis bahagia, aku dilamar sama Gandi.”
“wahh selamat yaa... tapi kamu jangan bohong sama aku.”
“Raza langsung memeluk Melati dengan erat.”
“aku gak tau harus bagaimana. Apakah ini benar atau salah. Apakah aku harus menerima atau menolak. Banyak sekali pilihan yang menghantui pikiranku.”
“aku paham, paham sekali. Silahkan menangis sejadi-jadinya. Tapi ingat, aku menikah hari ini.”
Raza menghentikan tangisnya dan melepas pelukannya.
“astaga manten. Kenapa kesini coba? Astagfirullah. Trus kenapa kamu tau kalau aku ada disini?”
Melati menunjuk ke arah Gandi.
Raza melihat Gandi yang menoleh seakan-akan tidak tahu apa-apa.“dasar dokter bucin.”
“aku yakin dia lelaki yang tepat. Dia khawatir sama kamu, makanya dia mengikuti kamu sampai kesini. Dia paham sekali kondisi kamu. Bahkan dia dihantui rasa bersalah karena kamu menangis.”
“tidak tidak tidak. Ini bukan salah dia.” Kata Raza.
“ayo sekarang kita bersiap. Nanti calon suami aku cemas nunggu calon istrinya yang gak datang-datang.”
Mereka tertawa bersama.
Raza dan Melati menghampiri Dr. Gandi.
“dasar dokter bucin. Udah dibilang aku pergi sendiri. Dia malah ngikutin.” Sambil menepuk punggung Dr. Gandi.
“yaa aku khawatir. Wajar kan kalau calon suami khawatir.” Jawab Dr. Gandi.
“Ciee ehem... ehem... calon suami.” Kata Melati mengejek.
Mereka tertawa bersama.
“ayo kita pulang. Nanti calon manten keburu kabur. Kamu juga siap-siap Ja, nanti aku jemput di rumah. “
“oke. Sipp.”
Akad nikah pun akan dilaksanakan. Dekorasi rumah Melati dihiasi bunga berwarna biru. Sesuai permintaan Melati. Gandi dan Raza pun sudah sampai di rumah Melati. Gandi menghampiri Bayu sedangkan Raza menghampiri Melati yang tengah bersiap.
Melati tampak gugup, namun Raza memegang tangan Melati.
Bima dan rombongan keluarga pun datang. Akad nikah pun berjalan dengan lancar. Melati dan Bima yang dari SMA menjalin hubungan, sempat putus begitu lama, hingga akhirnya Bima memberanikan diri untuk mendatangi orang tua Melati dan berniat menikahi Melati.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA ITU
Teen Fictionseperti inilah resiko ketika kita mencintai seseorang yang belum tentu mencintai kita. Apalagi ini adalah cinta yang datang untuk pertama kalinya. Kata orang, cinta pertama itu sulit untuk dilupakan. Dan benar saja, itu adalah hal yang sangat sulit...