GITO

93 6 0
                                    

Engkau tidak akan pernah tahu. Engkau tidak akan pernah mengerti, bagaimana kondisi hati setelah diporak-porandakan. Aku tidak bisa lagi menahanmu untuk pergi, setelah beberapa pertanyaan yang sering kali kau tanyakan. Tidak ada tema yang berubah, masalah itu masih tetap sama.

Aku tidak bisa melawan keadaan. Aku tidak mampu lagi memberimu semangat untuk berjuang. Keadaan mengekangmu dan memaksa untuk melepas genggaman. Keadaan memerintahkanmu untuk pergi dan menghilang. Jauh… semakin jauh… hingga tak ada lagi jejak yang tersisa.

Kepada siapa aku harus bertanya tentang keberadaanmu, tentang kabarmu, tentang aktivitasmu. Ragamu tak lagi tampak.
Memori itu masih melukai batinku secara perlahan. Alur itu masih mengusik pikiranku. Kala itu untuk pertama kalinya aku bertemu denganmu. Gelar “gito (gigi tonggos)” yang kau berikan padaku membuat semua teman mengikuti budayamu dalam memanggilku. Aku masih mengingatnya, dimana untuk pertama kalinya kita berboncengan menggunakan sepeda motor berwarna merah yang kau miliki.

Ketika langit mulai jingga. Mentari sudah berada di ufuk barat. Di balik bukit, semakin tenggelam. Namun tak ada sepatah kata salam perpisahan. Ia mulai direnggut malam. Aku merindu di kala itu. Ketika angin mengayunkan ranting. Menyapa diri dikala hening. Aku tersentak. Ada sesuatu yang mengacaukan tenangku. Suara motor yang tak asing kudengar. Suara itu kembali mengusikku. Aku tak ingin mengingatnya, namun suara itu semakin keras. Ketika kucari sumber suara, rasa kecewa untuk kesekian kalinya terjadi lagi. Itu bukanlah dia. Harapan itu harus kumusnahkan.

Seseorang itu tak akan lagi datang. Ia telah berhasil melalang buana di pikiranku. Mengisi hati yang dulu kosong. Berulang kali memberi kebahagiaan. Mengubah mendung menjadi pelangi. Takutku menjadi nekat. Namun sekarang, ia pergi. Tanpa pesan yang berarti.

Suara itu tak lagi terdengar. Gurauan itu tak lagi ada. Kemana ia? Sudah sewindu aku menunggu. Aku pun masih menghargai perasaanku, menjaga pikiranku. Bahkan ketika kumbang yang terkenal tampan mencoba merayu, memberikan perhatian yang tak menentu. Bunga menghindar. Ia masih menunggu kumbang yang biasa menghampirinya.

Di kala hujan membasahi bumi dengan deras, aku menepi di sebuah halte bis depan sekolah. Pria tinggi beseragam putih abu-abu berlari menuruni perbukitan sekolah, mencari tempat berteduh. Ia kebasahan dan menepi di tempat aku berdiri. Lelaki itu tepat di sebelahku. Ia membersihkan percikan air tanah yang mengotori celananya. Ia tersadar bahwa ada seseorang di sampingnya.
“ehh GITO”
Itu adalah panggilan yang telah ia berikan untukku. Panggilan itu menjadi populer di lingkungan sekolah kami. Semua teman pun mengikuti kebiasaannya memanggilku gito. Hal itu masih mengusik pikiranku walau sudah 14 tahun berlalu.

Memori itu masih melukai batinku secara perlahan. Alur itu masih mengusik pikiranku. Kala itu untuk pertama kalinya kita berboncengan menggunakan sepeda motor berwarna merah yang kau miliki. Aku tahu hal itu terjadi akibat kenakalan temanku agar kita pergi bersama untuk menghadiri acara keluarga salah satu teman SMP.

Semua memori itu mulai membuatku geram. aku ingin menghapus semua jejak-jejak yang pernah ia lewati. Namun lagi-lagi aku dihadapkan dengan beribu pertanyaan dari teman-temaan masa sekolah. Dimana Rama sekarang? Dia kerja?  masih ada komunikasi sama dia?.

KALA ITUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang