Pamungkas Merangin

65 14 0
                                    

Kepada Angin kebahagiaan ku :)

Pamungkas Merangin : SENJATA ANGIN YANG DAPAT DIANDALKAN

Badai itu diikuti angin. Apa angin menyerah pada badai? Tidak, dia berhembus menerjangnya.

***

"Mungkas, tolong kirim kerumah Pak Duloh ya."

Pamungkas Merangin yang tengah menatap selang air masuk kedalam lingkaran dirigen menoleh pada majikannya. "Siap, pak."

Pak Tohir dan Bu Wati bisa dibilang orang paling kaya di kampungnya. Pak Tohir memiliki banyak sekali kontrakan, dia juga punya usaha laundry. Selain itu, pak Tohir menjual air bersih untuk kampung-kampung pinggir kali seperti Kp. Bendungan.

Kp. Bendungan merupakan tempat Pamungkas tinggal dan dibesarkan, seperti daerah pinggiran pada umumnya, kawasan itu dihuni oleh orang-orang tidak mampu yang membangun sebuah rumah di atas kali atau tanggul-tanggul pemerintah dengan harapan tidak segera digusur.

Pamungkas tinggal tak jauh dari sana, dekat rumahnya ada lapangan bola yang dibuat sederhana oleh anak-anak remaja. Lapangan itu cukup luas, meski banyak semak belukar yang liar. Kalau sore hari, tempat itu bisa penuh dengan anak-anak yang habis pulang memulung. Karena beberapa meter dari sana, ada tempat barang rongsok yang bersedia membeli barang hasil pungutan mereka.

Dirigen-dirigen berisi air bersih itu ditutup oleh Pamungkas. Sekitar lima buah dirigen sudah siap diangkut dengan gerobak dorong. Itulah tugas Pamungkas, mengantar air bersih ketempat tujuan.

Pekerjaan yang melelahkan untuk anak seusianya. Kadang kala, pak Tohir pun tak tega membiarkan Pamungkas mendorong gerobak berisi air penuh itu ke rumah-rumah warga dengan badan sekurus itu.

Anak itu berhenti sekolah sejak awal SMP. Dia tidak mengemban pendidikan yang layak. Pamungkas juga tak punya waktu untuk belajar, dia harus menafkahi keluarganya.

Ya, sejak dulu bahkan dunia tidak berpihak padanya. Pamungkas ditinggal oleh Ibunya sejak Balita. Ayahnya turut pergi dan mereka tak kunjung kembali. Meski begitu, pamungkas masih bersyukur karena neneknya mau mengurusnya.

Dia juga punya tiga adik. Dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka masih kecil-kecil. Dibawahnya ada Gaharu Merangin, umurnya sepuluh tahun. Lalu ada Mashika yang saat ini menginjak lima tahun. Terakhir si kecil Amaiah.

Pamungkas mulai mendorong gerobaknya menuju rumah Pak Duloh. Jaraknya tak begitu jauh dari sini, tapi cukup memakan tenaga. Dia tersenyum melihat anak-anak sedang bermain bulutangkis.

Hal yang paling disukai Pamungkas! Ia bahkan ingat kala Pak Tohir memberikannya raket badminton yang sangat bagus. Meski itu bukan baru dan menjadi salah satu koleksi Pak Tohir saat muda, raket tersebut masih bisa digunakan dengan baik. Dan Pamungkas sangat menjaganya, itu adalah raket pertama yang ia punya.

Beruntunglah langit tengah bersahabat. Terik mentari sedikit pudar oleh mendung. Pamungkas kadang jengkel kalau matahari begitu menyengat kulit.

Tak terasa, ia sampai dikediaman Pak Duloh. Begitu melihat Pamungkas, pak duloh tergopoh-gopoh membantu Pamungkas membawa air ke dapurnya. Pak Duloh adalah seorang petugas kebersihan jalanan. Dia tak mampu pasang air PAM dan akhirnya membeli eceran dengan Pak Tohir.

Kadang memang kemiskinan itu begitu mencekik. Untuk minum atau mandi air bersih saja tak mampu. Hal seperti itu banyak sekali Pamungkas lihat disekitarnya, hanya saja apa yang ia lihat, mungkin tak tertangkap di mata para anggota pemerintah.

Kemiskinan Yang Tak TerlihatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang