Chapter 6: Hidup Susah Sehari-hari

59 4 1
                                    

Panas. Satu kata yang identik dengan kota Jakarta, janganlah siang, pagi pun bisa terasa sangat menyengat.

Gala keluar dari kamar kosannya, hari ini dia libur. Tetapi menutup mata untuk tidur rasanya sulit sebab kamarnya terasa enggap dan panas betulan.

Melirik jam di ponsel, Gala mengusap-usap perut kecilnya yang telah meminta kode untuk dipuaskan. Ini nyaris sore, tetapi dia telah melewatkan sarapan dan makan siang.

Merogoh kantung celana pendeknya, Gala melenguh panjang sebab uangnya tinggal sedikit. "Nyampe akhir bulan nggak ya?" pikir Gala, meski dia rasanya telah hemat setengah mati. "Duit gue kemana aja sih?"

Meski pikirannya terus berkecamuk pada uang, Gala kelihatan menjalaninya dengan kelewat santai.

Dia mengetikkan langkah manakala menemukan Raynar tengah mengais sampai dengan seragam sekolahnya.

"Woi!" teriak Gala, melambai-lambai.

Raynar menoleh, botol plastik yang ada di alat pengaisnya jatuh kembali ke tong sampah akibat kejutnya.

"Bang Gala!"

Gala melirik kondisi Raynar, lantas mengedip-ngedip linglung. Sial, baru saja ia mengeluh dengan keadaan ekonominya. Mengapa tuhan langsung memberinya pelajaran?

"Baru pulang sekolah?"

Raynar mengangguk. "Iya." lalu menyeka keringatnya. "Bang Gala mau kemana?"

Gala terdiam sejenak, mengingat sisa uangnya. Tetapi, entah mengapa dia malah merangkul bahu Raynar dengan akrab. "Cari makan, ayo ikut."

"Eh?" Raynar merampas karungnya, lalu meringis. "Uangku nggak cukup —"

"Aku traktir. Aku habis dapat rezeki lebih." kata Gala, berbohong. "Nah, aku mau berbagi pada sesama."

Raynar tersenyum cerah, menatap Gala dengan binar. "Makasih, bang."

Sampai di warung makan warteg, Gala langsung mengambil duduk di kursi panjang depan etalase kaca yang di dalamnya berjejer lauk pauk.

"Pilih aja sesukamu, Nar." ucap Gala lantas dia pun menyebutkan pesanannya. "Minumnya air teh tawar hangat."

"Beneran nggak apa-apa nih, Bang?"

Gala menoleh dengan raut heran, lantas tertawa menyadari keraguan Raynar. "Iya, pilih aja. Nggak usah sungkan."

Saat pesanannya telah diberikan, Gala langsung menyuap nasi ke dalam mulutnya. Dia nyaris tersedak ketika tubuhnya ditubruk dari belakang tiba-tiba. Jelas saja Gala berang, dia melongokkan kepalanya ke belakang hendak menyemprot ganas orang yang dengan tidak sopan menyenggolnya. Tetapi, segala ocehannya jadi mental entah kemana mendapati wajah pucat seseorang yang ia kenal.

"Eh, mbak Raksi kenapa?" si pelayan pun sama kagetnya ketika Raksi seperti ketakutan. "Ya ampun, sampe ngos-ngosan gitu."

Raynar berdiri, lantas melirik dua buah sepeda motor dengan pengendaranya yang ikut berhenti di depan warung. "Kak Raksi diikutin orang ya?"

Ucapan Raynar membuat Raksi tercekat. Gala yang masih duduk bisa melihat jelas tubuh gemetar perempuan itu, dia lantas bangkit dan memegang bahunya. "Rak, siapa mu orang-orang itu?"

Raksi belum mau menjawab, dia turut memantau orang-orang tersebut yang sepertinya enggan masuk karena kondisi ramai.

Gala keluar. "Ngapain kau?" tanyanya, tak ramah. Seperti preman yang siap tarung. "Warung tutup!"

"Oh, i-ya mas." pengendara itu berlalu begitu saja melihat wajah garang Gala. "Permisi, mas."

"Sana!" usir Gala, lalu berbalik ke arah Raksi yang sudah didudukan Raynar dan diberi air oleh pelayan langganan mereka. "Kenapa, Rak?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 14, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kemiskinan Yang Tak TerlihatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang