Cakra Nanggala Nagapasa

46 13 2
                                    

Kepada Dewa-ku :)

Cakra Nanggala Nagapasa : SENJATA  ATAU KEKUATAN PARA DEWA

Hiduplah dimana-mana kamu berada, jadilah seperti bulu ketiak, meski dicabut berkali-kali, dia akan tetap tumbuh.

***

Seorang pemuda mengisap rokoknya dalam-dalam sembari memandangi jalan. Jakarta terasa berat untuknya, setelah merantau kesini sejak seminggu. Dia belum mendapat pekerjaan apa-apa. Yang dilakukannya cuma luntang-lantung nggak jelas. Tapi, dia tak boleh terus negitu. Pria itu mulai sedikit menyesali perbuatannya. Kenekatannya memang tiada banding. Selalu menang daripada logika.

Gala, panggilnya. Dia menyusuri jalan kota tua yang terasa dingin, namun memantik empati. Seolah tiap sudut disini terisi kenangan dalam sekali. Alisnya menyeringit mendapati seorang lelaki berperawakan tua duduk di kursi kecil berhadapan dengan kanvas polos yang tengah di corat-coret. Lalu lintas jalan bagai tak berhasil mengusik keseriusannya.

Dia mendekat, tertarik untuk datang. Gala berdiri linglung dihadapan lukisan-lukisan yang terjejer dipinggir jalan. Wajahnya berkerut-kerut, tidak memahami makna apa yang disampaikan lukisan tersebut.

Ketika menggaruk kepalanya, gala menoleh kearah sang Bapak bertopi dan nyengir kecil. "Bagus." ungkapnya, sambil menunjuk. Kemudian mengacungkan kedua jempol dengan mata berbinar. "Keren, pak!"

Si Bapak awalnya cuma melihat Gala saja, tapi kemudian senyum kecilnya muncul. "Terimakasih. Pujian sederhanamu sangat tulus." Si Bapak memperhatikan Gala. "Baru di Jakarta?"

Sejenak Gala tersentak, kaget betulan mendengar tebakan Bapak tersebut. Ragu-ragu dia mengangguk. "Baru semingguan."

"Matamu menatap kota seperti seseorang yang jatuh hati." ujar si Bapak. "Ketika kamu mengenalnya lebih jauh, semoga kamu tidak menyesalinya."

Hah?

Gala duduk di samping Bapak tadi dengan sok akrab. Mereka sedikit berbincang-bincang dan berbagi cerita. Entah mengapa, gala merasa Bapak ini begitu peka dengan perasaannya.

"Aku terbiasa membaca alam, nak. Aku membaca debur ombak, angin semilir, hujan, redup lampu jalan, senja bahkan bintang. Aku menelisik lebih banyak daripada orang kebanyakan. Aku menyelami mata setiap orang yang bersitatap denganku." katanya, mendapati wajah kaget Gala. "Kamu lari dari masalahmu karena muak?"

Gala mendengus tawa, kekehannya terdengar pilu. "Sebut saja pengecut."

"Tidak juga. Kamu berhak pergi, tapi meski kamu berlari sejauh mungkin, kamu tau masalah itu akan terus kamu pikirkan, bukan? Anggap saja, pelarianmu adalah bentuk pelajaran untukmu sadar kalau masalah memang selalu hadir, nak. Selama kamu terus berlari, selama kamu hidup. Mereka akan terus berdatangan. Itu adalah tanda kalau kamu masih bernafas."

Kepala Gala gagal merespon cepat ucapan si Bapak. Tetapi, dia paham maksudnya. "Ya, betul. Jika ingin masalah tak terus datang, pilihannya hanya mati."

"Dan kamu tau betul itu adalah pilihan paling egois dan keji yang kamu lakukan untuk dirimu."

Jantung Gala rasanya seperti dicubit mendengarnya. Dia menunduk sekilas menyembunyikan senyum mirisnya.

Kemiskinan Yang Tak TerlihatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang