"Kemiskinan itu artinya kematian dan kesusahan, daru. Mereka mencekik kami tanpa akhir."
Jagad Mahanta
***
Seminggu lebih Andaru tinggal bersama keluarga Ibu—ah, tidak. Nyak Romlah, panggilnya ikutan Ari. Banyak sekali yang membuat Andaru tercekat. Sesuatu yang terbilang sangat banyak ternyata tak juga mereka dapatkan.
Air bersih. Rupanya untuk hal tersebut pun banyak warga yang kesulitan mendapatkannya. Entah sudah berapa banyak rasa marah dan kecewa berkumpul dalam benaknya.
"Kenape muke lo kusut terus kalo ikut gue beli aer sih?" kata Ari, nadanya memang ketus tapi Andaru tau itu memang cara bicaranya Ari. "Kan gue bilang juga ape, udah duduk aje dirumah. Capek kan!"
Andaru menoleh pada Ari yang tengah memegang selang didekat dirigen. Andaru saat ini tugasnya memegangi gerobak yang semakin terisi air semakin berat. "Ari, itu siapa?"
Kepala Ari memutar ke belakang, menemukan Pamungkas masuk dengan koran ditangannya. Dia mengangguk kecil pada Andaru, memberi hormat lalu tersenyum pada Ari.
"Udah bacanye?" sapa Ari, tiap dia membeli air ke bos-nya Pamungkas, dia selalu mengisinya sendiri dan membiarkan Pamungkas membaca.
"Iya, sini aku aja." Pamungkas meletakkan korannya dengan rapi dipinggir rak sebelum menghampiri Andaru. "Berat ya, bang?"
Ari menggeleng. "Udeh biarin, kas. Dia lagi belajar jadi miskin soalnya."
"Hah?" sontak saja pernyataan Ari itu mengundang pertanyaan di benak Pamungkas.
Remaja yang lebih muda dari Ari itu menatap Ari kemudian Andaru bergantian, raut bingungnya terbaca jelas oleh Andaru yang memamerkan senyum tipis malu-malu. "Belajar miskin b-buat apa? Kan nggak enak jadi miskin, bang."
"Kamu suka membaca?" Andaru malah mencari topik lain sambil tersenyum lugas. "Agak jarang kulihat anak remaja membaca koran di dunia serba digital sekarang."
Pamungkas menggaruk kepala bagian belakangnya. Sebelum menjawab, ditepuknya Ari yang rupanya melamun sampai air tumpah ruah di dirigen kedua. Pamungkas cuma diam ketika Ari nyengir lalu mengisi dirigen lain.
"Soalnya aku cuma bisa menyerap bacaan dari sana. Buku begitu mahal, sementara aku harus membiayai hidup."
Andaru tercengang, kalau dilihat-lihat remaja itu seperti anak nggak diurus. Dia kelihatan dekil dan lugu. Senyum polosnya tulus namun tak dipungkiri kalau dia ternyata menjadi salah satu pejuang rupiah tangguh diusianya yang seumur jagung.
"Aku punya banyak buku, kamu mau? Aku bisa meminjamkannya."
Ari menaikkan kepalanya yang sejak tadi cuma memperhatikan selang air, sepasang matanya terarah pada Pamungkas yang wajahnya sudah berseri-seri. Dengan sisa-sisa tanah di pipinya dan keringat di seluruh wajahnya, dia tampak begitu senang hanya karena sebuah buku.
"Beneran bang?" senyum Pamungkas melebar. "Boleh?"
Andaru tertawa. "Tentu saja. Kamu suka baca buku apa?"
"Apa aja ku lahap isi buku! Tidak rugi sama sekali membaca segala jenis buku kan?"
"Kalimat yang bagus. Kamu sekolah kelas berapa?" Andaru penasaran karena kata-kata dari Pamungkas seperti memberinya magnet.
Namun selepas pertanyaan itu meluncur, wajah Ari berubah kaget. Pamungkas yang sepertinya sulit menutup raut wajahnya itu pun agak pucat dan melas. Dia menundukkan kepalanya lalu bilang. "Aku nggak sekolah, bang. Sejak SMP udah nggak sekolah lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemiskinan Yang Tak Terlihat
Teen FictionSiapa yang bilang 'Bahagia tak melulu soal harta?' Cobalah untuk tinggal bersama orang-orang bawah jika tak percaya. Jangan hanya memotret mereka ketika mereka tertawa, lalu menuliskan kalimat 'Bahagia tak butuh harta' Sayang sekali lensa kamera tak...