Happy reading!!!
Kecewa terlalu dalam, sehingga memilih diam. Semuanya melebihi batas sehingga itu semua kandas. Baginya tidak ada yang perlu dipertahankan, Zoe menganggap semuanya selesai. Ya, memang harus seperti itu. Dari kecil dirinya selalu dilatih untuk tegas dalam mengambil keputusan."Lo kirim aja lewat email, vid."
"Ok, gue kirim."
Sambungan telepon terputus, setelah ada kesepakatan. Zoe membuka pintu balkon menghirup udara segar sore hari setalah hujan. Telinganya menangkap derum motor yang kian mendekat. Matanya terbelalak saat melihat ducati hitam, berhenti di depan gerbang.
Zoe masih berdiri di balkon memandangi Zero yang sedang membuka gerbang. Zoe memperhatikan setiap gerak-geriknya. Sampai Zero melepas helm dan mengetuk pintu. Mungkin, dia tidak melihat kehadiran Zoe di balkon.
Zoe memilih di kamar saja meskipun tahu ada Zero yang datang. Ada sedikit rasa malas dan bingung, kenapa Zero ke sini lagi? Tidak perlu dong, dia caper atau meminta dirinya untuk kembali? Bukannya sudah punya gandengan baru.
"Ihh, kenapa gue jadi overthinking gini dah. Ngapain juga mikirin ngurusin hidup dia."
Suara ketukan pintu mengalihkan Zoe. "Masuk."
Zoe kira, yang masuk bakalan maminya atau mbok, ternyata cowok itu. "Nggak jadi, keluar," ujarnya sinis.
Namun, Zero tetaplah Zero, dia nekat masuk dan duduk di sofa yang ada di kamar Zoe. Kamarnya memang luas, ada meja khusus belajar, sofa untuk santai dan karpet beludru di bawahnya.
"Oke, biar gue yang keluar." Zoe berjalan melewati Zero, namun tangannya ditarik Zero sehingga tidak memungkinkan untuk bergerak.
"Kamu ada masalah apa si?"
Zoe memutar bola mata malas. "Masalah gue ya elo," ujarnya berusaha melepaskan genggaman Zero.
Zero berdiri tanpa melepaskan genggaman tangannya, berjalan di depan Zoe dan membawanya ke luar dari kamar.
"Ck, bisa lepasin nggak si!"
Bukannya melepas, Zero malah menguatkan genggamannya. Berjalan dengan muka datar khasnya, menuruni satu demi satu tangga rumah, Zoe yang di belakangnya agak geregatan pun menarik rambut Zero yang sering ia sebut tuing-tuing karena terguncang saat berjalan.
"Aww!"
Meskipun berhasil, genggaman tangannya tidak lepas, tapi Zoe sedikit senang karena kekesalannya sudah terlampiaskan.
"Mami kenapa biarin dia masuk kamar si?!"
"Bukannya dulu gitu? Apa salahnya," kata maminya yang fokus menyuapi Garvi.
"Ayaya tatata Ju." Garvi ikut berceloteh khas bayinya.
"Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang. Nggak bisa disamain gitu dong," ujarnya sedikit keras.
Zero yang mendengarnya, merasakan ribuan jarum menusuk tubuhnya. Sesakit itu memang, namun Zero harus tetap mencoba lagi.
"Mami yang panggil Zero ke sini, mau nyuruh anterin kamu belanja bulanan."
"Biasanya juga mami belanja sendiri, kalo nggak ya mbok. Ini kenapa jadi perintah-perintah aku si."
Zoe sebenarnya tidak masalah diperintah belanja bulanan, namun yang salah adalah maminya harus melibatkan Zero dalam hal itu.
"Udah sana pergi, banyak protes, tuh list belanjaan udah mami tulis ada di meja."
Zoe pasrah, meraih kertas tersebut dan melangkah tanpa menoleh ke belakang. Zero yang melihat itu, langsung berpamitan dan bergegas menyusul Zoe yang ngambek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Azorella
Teen Fiction[update sunahan• Senin-Kamis] Melupakan orang yang kita cintai memang tidak mudah. Setahun silam Zero menghilang tidak membuat Azorella memiliki keyakinan bahwa benar-benar sudah melupakannya. Azorella mempunyai misi besar kali ini, yaitu melupakan...