𝟔𝐭𝐡

59 18 18
                                    

6 : Tutup Telingamu, Bukan Mulutnya

6 : Tutup Telingamu, Bukan Mulutnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak!

Beomgyu meringis saat kepalanya dijitak. Tidak beringsut mundur, hanya menahan sakit sebentar.

Siang yang terik, cocok untuk hukuman berjemur di lapangan. Maka di sinilah Beomgyu sekarang. Berdiri di tengah lapangan, persis di depan ruang konseling, bersama pemuda lain yang daritadi ditatap sinis.

"Berhenti menatapku begitu, sialan!"

Tidak peduli seberapa banyak prestasi yang dituai Beomgyu dari basket, tidak peduli kalau dia anggota kebanggaan tim, pemuda itu tetap langganan BK.

"Kamu yang harusnya berhenti menyebut saudariku di setiap taruhanmu, sialan," desis Beomgyu tidak suka.

Namanya Jaehyuk, Lim Jaehyuk, pemuda yang menjadi musuh terbesar Beomgyu karena selalu mengincar Hyejun sebagai hadiah taruhan.

Padahal ada sosok bidadari seperti Minju dan Aeri di sekolah ini, kenapa harus Hyejun yang dijadikan sasaran?

Berdebat dan saling melempar umpatan, Beomgyu sampai tidak sadar saudarinya memerhatikan dari jauh. Menghela napas panjang seakan hapal kelakuan kembarannya.








"Lepas, Hye! Kenapa menyeretku?!"

"Ikut dan diam, bodoh. Banyak tingkah."

"Ck, apalagi?!"

"Kamu yang apalagi!"

Hyejun berhenti di belakang sekolah, tempat parkir motor dan sepeda siswa. Marah dengan saudaranya karena suka mengurusi hal yang tidak penting.

"Apa?" sahut Beomgyu.

"Sekarang kenapa lagi dengan cecunguk itu? Dia bilang apa lagi sampai kamu marah?"

"Buat apa kamu tahu? Masalahnya sudah beres."

"Apanya yang beres. Kalau beres, kamu nggak akan bertengkar terus dengannya setiap bulan. Choi Beomgyu, kamu nggak bisa begini terus!"

"Toh berapa kalipun aku dapat surat peringatan, mereka nggak akan mengusirku dari sekolah."

Hyejun mendecak, ancang ancang hendak memukul Beomgyu tapi urung. Mendengus keras sebagai pelampiasan emosi.

"Sudah aku bilang, berhenti berkelahi. Apa kamu nggak lelah melihat Kak Yeonjun selalu menandatangani surat skors-mu?"

"Dia bahkan nggak pernah marah."

"Siapa yang tahu, bodoh. Lagipula, cecunguk seperti Jaehyuk itu urusanku. Urusi saja lomba lombamu, aku bisa menghajar Jaehyuk sendirian."

Beomgyu mendecak, "Keras kepala. Justru kamu harusnya diam saja, biar aku yang urus. Kalau kamu bertingkah dan dapat surat peringatan, mereka bisa dengan mudah mengeluarkanmu!"

"... Kamu benar. Aku nggak berguna."

"Apa? Hye—"

"Kalau begitu biar aku urus bajingan tadi." Hyejun melangkah menjauh, menekan bagian dalam mulutnya dengan lidah demi menetralkan emosi.

Sudah lama dia mendiami Lim Jaehyuk, berlagak tidak peduli tapi malah saudaranya yang banyak tingkah.

Seruan dan kejaran Beomgyu terasa sia sia. Lelaki itu mengumpat sebal tatkala kehilangan punggung saudarinya, berpikir harus mencari kemana.

Sementara yang dicari sedang memanggil lantang di ambang pintu kelas, "LIM JAEHYUK!"

"Oh? Umpanku datang sendiri!"

Berdiri dengan senyum sombong, kemudian menyapa, "Hai, cantik."

Hyejun jengkel. Terlebih melihat luka di wajah pemuda itu mengingatkannya pada Beomgyu.

Dia tidak suka keluarganya diusik.

"Kenapa memanggil? Rindu?"

Melepas sepatu kirinya, Hyejun melempar sekuat tenaga hingga mengenai kepala pemuda tengil tadi.

Selagi pemuda itu mengaduh, Hyejun berjalan mendekat, menyiapkan pukulan mentah dari tangannya.

Baru menarik kerah baju Jaehyuk, sebuah suara menghentikannya.

"Hyejun, berhenti!"

Itu Beomgyu, dengan napas memburu membawa Hyejun mundur dengan panik.

"Jangan kotori tanganmu, biar aku yang urus. Kamu terlalu emosi," ujarnya, menarik mundur raga Hyejun.

Gadis itu jengah, menatap nyalang Jaehyuk, "Berhenti menyebut namaku di setiap taruhanmu, sialan. Aku diam cukup lama bukan berarti nggak tahu, ya!"

"Wah, apa aku harus senang karena akhirnya kamu tahu tentang aku yang selalu membicarakanmu?"

"Ck." Hyejun melepas sepatu lainnya, berniat melempar lagi, namun tubuh Beomgyu menghalangi.

Lantas menuding Jaehyuk dengan ujung sepatu, berseru, "Dan berhenti memancing Beomgyu! Aku tau kamu sengaja! Jadi bungkam mulutmu sebelum aku yang merobeknya, paham?!"

"Oh, aku takut!"

Duk!

"KATAKAN LAGI!" Hyejun menyambar gunting dari meja terdekat, berontak dari pegangan Beomgyu sambil menuding gunting ke arah Jaehyuk.

"Hye! Masih waras?! Taruh guntingnya! Aku nggak apa apa!"

"Jangan bohong lagi, bodoh! Gyu, kita kembar! Tau kamu mengamuk seperti itu, aku yakin ada lagi yang dia katakan, kan?"

"Kalau kamu nggak mau jujur, maka aku akan buat bedebah itu bicara, jadi minggir!"

"Hyejun! Oke, aku jujur! Nggak di sini, nggak sekarang. Tenang dulu!"

Orang menyebutnya kebohongan putih—demi kebaikan. Hyejun tau, dia sangat paham. Karena baik kakak maupun saudara kembarnya sering mengatakan itu.

Dengan dalih agar susah mereka simpan sendiri, dan tidak membuat orang lain khawatir.

Itu bagus, untuk beberapa hal. Tapi lama lama, Hyejun membenci hal ini.

"Mereka bilang soal kamu jadi taruhan."

Hyejun menatap Beomgyu yang menunduk, sudah selesai memakai kembali sepatunya.

"Aku yakin bukan cuma itu."

"... Hyejun yatim piatu miskin, aku yakin dia jual diri demi sekolah di sini. Dia nggak seperti Beomgyu yang jago basket, bahkan dia hampir nggak berguna."

"Aku bukan kamu, tapi aku sakit mendengarnya."

Bohong kalau Hyejun tidak merasa sakit mendengar itu. Kejam, tapi begitulah mulut manusia. Seringkali setajam pisau untuk menggores kehidupan orang asing.

"Harusnya cukup sampai aku yang tahu, tapi aku yakin kalau aku nggak jujur, kamu bakal robek sungguhan mulut Jaehyuk."

Hyejun mengangguk, "Benar. Sekarang aku semakin ingin merobek mulutnya."

"Tapi aku sudah jujur!"

"Bagus, teruslah jujur! Aku muak dengan kebohongan kalian. Nggak kamu, nggak Kak Yeonjun. Semua sama," decih Hyejun.

"Janji padaku kalau kamu nggak akan menangis cuma karena tadi. Buang saja kata katanya, anggap angin lewat. Oke?"

Semua orang mengira Hyejun tidak berguna, padahal Beomgyu tahu kalau dirinya lebih tidak berguna. Egois mengejar mimpi daripada saudaranya yang lain.

Gadis itu tersenyum, mengangguk pasti di hadapan Beomgyu.









Padahal dia sama saja dengan saudara saudaranya. Berbohong karena nyatanya, malam ini dia menangisi kata kata itu.

[continued]

it's a lie, but in a white way [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang