Bab 7: Plan B

12 3 1
                                    

"Mas Johan kok gitu, sih! Bukannya sebagai kakak lebih bijak, malah egois dan nggak mau bantu adiknya sendiri," gerutu Salsa sambil berjalan mengikuti Yuda menuju ruang kerjanya.

Ruang kerja Yuda terletak tak seberapa jauh dari ruangan Johan. Ruangan bernuansa putih dengan latar belakang jendela kaca besar. Pemandangan gedung bertingkat dari luar kaca jendela membuat emosi Salsa sedikit mereda bersama hembusan dingin AC ruangan. Maya tampak diam dan langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa tamu yg ada di ruang kerja Yuda.

"Ma, kita jadi ketemu tante Ida?" Maya mulai mengalihkan pembicaraan. Tangan kanannya melepas earphone yang sedari tadi terpasang di telinga. Pandangannya tertuju pada Yuda dan Salsa yang masih tenggelam dalam suasana yang menyebalkan bersama Johan tadi.

"Pa? Ma? Kok pada diam, sih? Apa ada masalah saat bertemu Pakde Johan tadi?" Mata Maya semakin serius menatap kedua orang tuanya yang masih hening.

"Sebenarnya Papa sama Mama tadi ngomongin apa sih sama Pakde Johan? Maya tadi kaget waktu ketemu Pakde Johan. Bukannya Mama mau ngajak ketemu sama Tante Ida, tapi malah ke kantor Papa buat ketemu sama Pakde Johan," guman Maya.

"Apa kamu tadi nggak dengar yang dikatakan Pakde Johan tentang kejadian yang menimpamu? Papa minta Mama untuk datang ke kantor tujuannya bertemu Pakde Johan untuk membahas tentang Tommy." Yuda berusaha menjelaskan tentang inti pembicaraannya dengan Johan hari ini.

"Apa? Jadi Papa sama Mama sudah menceritakan tentang isi buku harianku ke Pakde Johan? Maya bilang kan nggak usah, Pa! Kenapa Papa sama Mama tega membuka aib Maya? Maya malu. Malu!" Terlihat raut tidak senang Maya lalu menyatukan tangan di tubuhnya dengan bibir makin cemberut. Salsa langsung berpindah dari kursi di depan meja kerja Yuda ke sofa tempat Maya duduk dan memeluknya.

"Tenang, sayang. Tadi Mama pikir kamu diam itu karena menyimak dan tidak keberatan dengan pembicaraan kami. Mama nggak lihat kamu pakai earphone." Salsa berusaha menenangkan Maya yang mulai panik ketakutan karena rahasia pribadinya diketahui oleh Pakde Johan.

Melihat reaksi Maya, Yuda lalu ikut mendekat dan duduk di sofa di sebelah kiri Maya. Hati Yuda tak tega melihat kepanikan terpancar di wajah Maya. Gadis yang biasanya selalu santai menghadapi setiap masalah dalam dirinya, namun kini ketakutan serta kekhawatiran seakan menghantuinya.

"Maya, Papa sama Mama hanya ingin Tommy bertanggung jawab atas perbuatannya. Semua yang dilakukan Tommy terhadapmu itu tidak benar. Itu perbuatan anak yang tidak berpendidikan. Papa merasa Pakde Johan harus tahu," jelas Yuda dengan lembut sambil membelai rambut Maya.

"Tapi, Papa sudah janji sama Maya untuk tidak menceritakannya pada Pakde Johan. Papa sudah bohong sama Maya!" teriak Maya lalu berlari keluar ruangan.

"Maya! Tunggu!" panggil Salsa lalu menyusul langkah Maya yang terlihat sudah memasuki lift untuk turun ke lobi kantor.

"Sa, sebentar." Yuda menahan kepergian Salsa.

"Apalagi, Mas. Nanti saja bicaranya di rumah. Aku harus mengejar Maya," ucap Salsa yang masih berdiri di depan lift sambil mengatur napasnya setelah lari mengejar Maya.

"Biarkan dulu Maya. Dia pasti pulang ke rumah." Yuda berusaha meyakinkan Salsa.

"Tapi, Mas," Salsa menghela napas,"aku mau ajak Maya bertemu psikolog hari ini."

"Itu bisa besok. Hari ini aku mau ajak kamu bertemu Ratih," jelas Yuda.

"Kamu kan harus kerja. Gimana kalo nanti Mas Johan nyariin kamu?" tanya Salsa penuh kekhawatiran mengingat Yuda adalah tangan kanan kakaknya di kantor.

"Bodoh amat! Aku hari ini nggak fokus kerja. Masalah Maya lebih penting!" tegas Yuda yang kemudian mengajak Salsa masuk ke lift yang telah terbuka dan turun menuju parkiran mobil. Mereka lalu masuk mobil dan meninggalkan kantor menuju ke rumah Johan.

BEAUTIFUL HONESTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang