Hijau Yang Hangat dan Biru Yang Dingin [ Revisi ]

20.1K 1.1K 61
                                    

Tujuh tahun kemudian.

Kota London, akhir musim gugur.

Suara ketukan sendok dan piring dari si Kecil-ah yang membangunkanku pagi ini. Aku membuka mataku dan melihat ke tirai jendela yang sudah terbuka. Matahari telah bersinar tinggi di atas langit, sedang aku masih terbaring di atas tempat tidurku. Pandanganku sedikit silau karena sinar mentari pagi yang menembus jendela. Dengan susah payah, aku bangun dari tempat tidur dan melihat jam alarm yang tergeletak tak berdaya di meja samping tempat tidurku.

"Jam sembilan pagi?" Mataku lansung tersentak terbuka, Oh, ya ampun! Aku bahkan belum membuat sarapan untuk Harold dan Allant.

Dengan tergesa-gesa aku segera berdiri dari atas tempat tidur, pergi ke kamar mandi dan membasuh wajahku cepat, mengambil pasta, sikat gigi. Kurang dari lima menit aku pun telah selesai. Ketika turun ke lantai bawah, Harold telah selesai menyiapkan sarapan. Aku mendesah dan duduk di samping Allant yang tengah sibuk mengadu sendok dan garpu di atas piring. Aku tidak menegurnya, malah tersenyum geli. Apalagi ketika bibir Allant mengerucut lucu dan pipinya menggembung. Memberitahu bahwa ia sedang kesal dan marah entah pada Harold atau padaku. Aku tidak tahu.

Aku menyembunyikan tawa ketika Allant menebak silau dan cemberut yang ternyata ditujukan pada Harold. Tidak tahan lagi, aku mencium pipi gemuknya dan mengucapkan selamat pagi pada Allant dan Harold, walau sedikit terlambat. "Selamat pagi, All—Sayang." Aku berdiri, lalu mencium pipi Harold.

"Selamat pagi juga, Sayang," balas Harold dengan senyum ceria. Dan dengan cepat ia mencium bibirku.

"Ugh, tolong, Mommy, Daddy, jangan berciuman di depan All," gerutu Allant dengan bibir mengerucut lucu.

Aku dan Harold pun tertawa melihat kelucuan putra kami. Allant yang baru berusia lima tahun selalu membuatku khawatir karena sering terlihat jauh lebih dewasa daripada anak seumurannya. Pemikirannya sering tidak terjangkau untuk anak biasa. Mungkin itu pengaruh 1Q-nya yang mencapai 190. Itu bahkan jauh melampaui IQ Albert Einstein. Terkadang aku takut dia tidak akan bisa tumbuh seperti anak normal lainnya dan dianggap aneh oleh teman sebayanya karena memiliki pemikiran yang berbeda. Namun, aku bersyukur semua yang aku khawatirkan belum pernah terjadi. Bahkan Allant cukup populer dengan anak-anak yang tinggal di sekitar lingkungan rumah kami. Ia juga sudah mempunyai sahabat dekat bernama Jazz, putra Sarah tetangga kami.

Mendekati Allant, aku memeluknya erat. "Kamu akan selalu menjadi bayi kecil Mommy, All." Aku mencium kepalanya dengan sayang.

All cuma menggerutu seolah berkata; Mommy, All sudah besar. Aku hanya tertawa. Walau begitu, All tetap balas memelukku bahkan lebih erat. 

"All juga sangat sayang pada, Mommy," katanya.

Aku tersenyum gemas lalu mencium kepalanya sekali lagi. "Mommy juga sangat menyayangimu, bayi kecilku."

Harold lalu juga ikut bergabung dengan kami dan memeluk erat kami berdua. "Aku juga sangat menyayangi kalian berdua," bisiknya penuh kasih.

"Kami juga, Sayang." Bertiga, kami pun tersenyum bahagia.

Tiga menit berpelukan, Harold akhirnya melepaskan pelukannya. Menatap sedikit kesal padanya, aku menggerutu. "Kenapa kau tidak membangunkanku tadi?"

Harol tersenyum gugup. "Aku tidak mau menganggumu. Kau kelihatan sangat lelah tadi malam." Mata hijaunya menatapku khawatir.

Membawa tanggannya, lalu kutempelkan pada pipiku. "Kau tidak usah khawatir, Sayang. Aku baik-baik saja."

Harold tidak percaya, tapi sebelum dia berbicara apapun, bel pintu sudah berbunyi. Harold ragu-ragu. Dengan enggan ia memutuskan untuk tidak melanjutkan. Langkah beratnya menapaki lantai, berjalan menuju pintu depan untuk melihat siapa yang datang.

"Untuk apa kau datang kemari?" Aku mendengar Harold berteriak. Tak pernah sebelumnya aku mendengar Harold berteriak semarah itu.

Dengan membawa Allant dalam gendonganku, aku berlari ke arah pintu depan dan saat itulah aku melihatnya. Seorang pria berambut ikal pirang emas dan mata biru tajam menatap dingin ke arah Harold.

"Aku ingin bertemu dengannya," jawab suara dingin itu. Tajam dan angkuh.

Aku melihat mata hijau Harold menyipit tajam penuh amarah. Tangannya pun mengepal. "Kau tidak berhak untuk bertemu dengannya lagi. Anastasia adalah istriku sekarang, jadi cepat pergi dari sini!" Usir Harold sambil hendak menutup pintu.

Sekilas aku melihat emosi penuh rasa sakit di mata biru dingin itu."Anakku membutuhkannya. Tolong beri aku waktu sebentar untuk berbicara dengan Anastasia," mohonnya tampak putus asa.

Sebelum Harold menolak, aku lansung keluar dari balik pintu. "Sill Rawleigh Troyard. Apa yang sedang dilakukan seorang anggota keluarga bangsawan terhormat seperti dirimu di sini?" tanyaku sinis penuh kebencian.

Mata biru dingin itu menghangat ketika melihat ke arahku. "Anastasia...."

Sebelum Sill berbicara lebih lanjut, sebuah suara lembut kekanak-kanakan memotong pembicaraan kami. "Mama?"

Sepasang bola mata biru identik tapi jauh lebih hangat dan penuh kepolosan menatapku senang, haru, sedih. Aku yakin melihat berbagai macam emosi tengah teraduk dalam mata anak itu. Seorang anak laki- laki kecil, hanya sedikit lebih tua dari Allant, dengan rambut pirang lurus dan mata biru berkilau menatapku.

Karrel Cladwell Troyard, putra pertamaku, yang telah direnggut Sill dariku, lalu terpaksa aku lupakan keberadaannya selama ini. Kini ia datang dengan mata penuh harapan dengan tangan terbentang ke arahku.

"Aku bukan Mamamu," kataku pelan.

Marriage With Nobles [Winter in Wilthshire & Spring In Lincoln] DibukukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang