"Mama?" Dia bingung, mata birunya berpendar pudar ketika aku menolak mendekat ke arahnya.
Memalingkan wajah, aku berpura-pura bahwa anak yang telah membuatku merasa kehilangan tidak tengah berdiri di depanku. Sudah cukup! Karrel mengingatkanku pada masa laluku yang menyakitkan. Aku menutup kedua mataku berusaha menahan laju air mata yang hendak keluar. Menarik napas dalam-dalam, aku menguatkan diri untuk menatapnya.
"Kau pasti salah. Aku bukan Mamamu." Rasa pahit seperti terbakar di lidahku ketika mengatakan kebohongan itu lagi. Rasanya sangat sakit ketika melihat mata biru cair itu melebar. Tangannya gemetar dan tubuh kecilnya pun sedikit goyah seperti akan jatuh ke tanah saat itu juga. Mungkin terguncang atas apa yang kuucapkan.
Tak sanggup melihat pemandangan tersebut, aku segera berbalik dan berniat untuk pergi darisana. Namun, sebelum aku pergi sebuah suara dingin setajam pisau es yang selalu menghantui mimpiku setiap malam menghentikanku.
"Karrel juga adalah putramu. Bagaimana kau bisa bersikap begitu kejam padanya, Anastasia?" kata Sill.
Mata hitam milikku dan mata biru es Sill bentrok. Ketegangan begitu tebal tercipta di antara kami. Kemarahan dan kekecewaan serta kesedihan bercampur aduk. Begitu banyak emosi dalam satu waktu membuatku sedikit kewalahan. Kenapa pria yang paling kubenci di dunia ini masih memegang kendali yang begitu besar pada diriku? Berusaha menatap tajam mata biru dingin itu, aku menguatkan diri. "Bukankah kau yang memaksaku untuk berbuat kejam seperti ini? Kau bilang Karrel bukan putraku lagi tujuh tahun yang lalu," kataku padanya.
Sill akan membuka mulutnya untuk membalasku, tapi sebuah suara batuk keras memotong apapun yang hendak ia ucapkan. Si Kecil Karrel tiba-tiba rubuh sambil menekan dadanya. Ia kaget dan lansung memeluk Karrel saat itu juga. Aku dan Harold ikut terkejut ketika aliran darah merah pekat mengalir dari bibir Karrel. Kami semua pun lansung panik.
Tanpa memperdulikan perseteruan tadi, Harold berjongkok di depan Karrel yang kelihatan lemas dipelukan Papanya. "Apa yang terjadi padanya?" Tanyanya khawatir.
Aku cuma menatap terpaku ke arah tubuh lemah Karrel. Sill menatapku sebelum akhirnya menjawab pertanyaan dari Harold. "Karrel menderita kanker paru-paru."
Dan saat itu aku merasa duniaku runtuh seiring perasaan menyesal dan bersalah lansung menggelegak dalam hatiku.
"Lebih baik kita bawa Karrel masuk," saran Harold kemudian.
Sill setuju. Menggendong Karrel yang lemas dalam pelukannya, Sill mengikuti Harold ke dalam rumah. Saat melewatiku mata biru dingin Sill menatap penuh amarah. Membuat diriku mengigil ketakutan walau sebentar. Tatapan mata biru itu juga mengandung kekecewaan dan kesedihan begitu dalam. Aku menarik wajahku dari pandangannya.
Aku tahu sebenarnya yang kulakukan ini salah, tapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Bertahun-tahun mencoba menghapus semua kenangan buruk dalam ingatanku, tapi kini sumber dari segala rasa sakit itu datang kembali dalam hidupku. Tanpa kusadari akhirnya setetes air mata lolos membasahi pipiku.
"Mommy kenapa menangis?" Tangan mungil Allant menghapus aliran air mata dari pipiku. "Apa Mommy sedang sedih?" Tanya Alant lagi. Wajahnya kini terlihat kebingungan, karena aku terus menangis.
Mencoba tersenyum untuk terlihat bahagia, aku berusaha meyakinkannya. "Mommy baik-baik saja, hanya kelelahan saja."
"Benarkah?" Tanyanya tak percaya.
"Ya. Hanya lelah, Sayang. Lebih baik kita segera masuk. Di luar sangat dingin." Aku menutup pintu yang masih terbuka dan masuk ke dalam seraya memeluk erat tubuh mungil Allant dalam gendonganku.
Aku hanya berharap, mungkin semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk. Ketika aku bangun nanti, tak akan terjadi apa-apa. Namun, aku tahu ini adalah nyata, bukan hanya sebuah mimpi belaka.
Bagi yang rindu Ann-Sill- Harold kalian masih bisa membeli novel dan e-booknya di 081382389500
Mereka telah menunggu untuk datang ke rumah kalian ^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage With Nobles [Winter in Wilthshire & Spring In Lincoln] Dibukukan
General FictionAnastasia Helena hanya seorang gadis Indonesia biasa yang ingin mengejar mimpinya dengan menempuh pendidikan ke Inggris. Pertemuannya dengan seorang Bangsawan muda berambut pirang dan beriris biru layaknya saphire musim dingin mengubah kehidupannya...