03. Na Jaemin - Lie

81 14 5
                                    

Entah ini karmaku atau apa.

Karena saat rekanku di kantor berkata bahwa ia memergoki kekasihku, Kim Yera, sedang berduaan di kafe dengan sahabatku, Lee Jeno, rasanya seperti langit di atasku langsung runtuh.

Sebut aku terlalu gampang curiga, nyatanya itu benar. Penolakan yang kudapat dari Yera berkali-kali setiap kuajak dia menikah membuatku tak pernah tenang.

Dia selalu berkata bahwa alasannya tak mau menikah adalah belum siap, masih ingin fokus bekerja, atau mempertanyakan ketergesaanku mengingat di negara Korea ini pernikahan bukanlah standar kehidupan, bukan kewajiban bagi pemuda-pemudi yang sudah dewasa, dan melajang seumur hidup bukanlah aib bagi seseorang.

Aku yakin segala alasan penolakannya hanyalah alibi.

Apa aku akan melarangnya bekerja jika kami sudah menikah? Tentu saja tidak! Aku akan membiarkannya melakukan apapun pilihannya. Entah meneruskan pekerjaannya sekarang sebagai teller bank swasta, atau memilih tidak bekerja. Apapun pilihannya, tidak kupermasalahkan, karena penghasilanku sangat cukup untuk menghidupi kami berdua jika ia berhenti dari pekerjaannya.

Lalu jika alasannya adalah belum siap, apa yang membuatnya merasa seperti itu? Aku ingin membantunya menyiapkan diri. Toh aku tidak menuntut macam-macam. Bahkan jika ia ingin menunda punya anak karena belum siap jadi seorang ibu, aku tidak keberatan dengan itu, selama dia nyaman bersamaku.

Sebenarnya, apa yang salah denganku? Dengan kami?

Kami baik-baik saja. Bahkan kehidupan seksual kami pun sangat normal dan bahagia. Tidak ada kecacatan yang kutemukan dalam hubungan kami. Namun, Kim Yera selalu saja enggan untuk terikat bersamaku dalam sebuah ikatan pernikahan.

Aku tidak ingin curiga secara buta pada Lee Jeno maupun Kim Yera. Aku sangat tidak ingin mencurigai mereka berselingkuh di belakangku. Tapi sungguh, jika kuingat lagi bagaimana perjalanan cinta kami dulu, rasanya tidak menutup kemungkinan bahwa pengkhianatan besar ini terjadi padaku.

"Aku mencintaimu, Yera," bisikku, lalu mengecup puncak kepalanya. Kupeluk makin erat tubuh polos Yera yang sedang berada di atasku.

"Hmmm..."

"Eh? Kau belum tidur?"

Perempuan itu menegakkan kepalanya yang sedari tadi ditidurkan di atas dadaku. Pandangan kami bertemu, lalu sebuah senyuman manis terulas di wajahnya. "Kau membangunkanku."

"Oh! Maaf."

Aku berniat menurunkan tubuh Yera di sebelahku, tapi dia menahan diri. "Apa badanmu terasa sakit? Aku masih ingin di posisi seperti ini."

"Tidak. Tidak sama sekali." Aku membatalkan niat untuk menurunkan tubuhnya, dan kembali memeluk dirinya erat.

Dia tersenyum lagi, membuat hatiku menghangat dan tanpa bisa dicegah ikut tersenyum bersamanya.

"Kenapa kau sangat mencintaiku?" tanya Yera.

"Kau sudah pernah menanyakan itu berkali-kali, dan kau tahu aku akan menjawab apa."

"Kau pikir aku percaya kalau alasan utama kau menyukaiku adalah karena aku cantik?"

"Memang benar begitu, kok."

"Jangan bercanda, Nana!" ucapnya kesal, sementara aku hanya terkekeh kecil.

Nana. Itu adalah panggilan khusus dari Yera untukku. Tak ada yang boleh memanggilku dengan sebutan itu kecuali dirinya.

"Ada banyak perempuan yang jauh lebih cantik dariku, Na," lanjut Yera sambil menatap mataku lamat-lamat.

"Di mataku, kau yang paling cantik," balasku tanpa ragu. "Aku tidak pernah melihat perempuan yang lebih cantik darimu."

IRREPLACEABLE || (NJM) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang