06. Kim Yera - Fallen Flower

47 12 0
                                    

Di malam hari dalam sebuah taksi, aku termenung sendirian sambil memandang ke luar jendela.

Untuk yang ke sekian belas kali, aku menghembuskan napas berat.

Sungguh, ini bukan hanya berat untuk Jaemin, tapi juga untukku.

Sulit untukku melepaskan Jaemin. Seperti dia yang menginginkan aku terus berada di sisinya, aku pun begitu. Mungkin selama ini dia berpikir bahwa aku tak mencintainya sama besar. Namun, kenyataannya tidak begitu. Aku sangat mencintainya. Tidak ada yang lain di hatiku, hanya dia seorang.

Semua inginku tentangnya membuatku sesak. Tak peduli seberapa inginnya aku terus bersamanya, aku tak yakin bisa melawan leukimia-ku yang sudah cukup parah ini.

Beberapa minggu terakhir ini, aku sering cepat lelah bahkan beberapa kali pingsan di tempat kerja. Kadang sendiku terasa nyeri. Tak jarang juga aku demam tanpa alasan. Yang mengkhawatirkan, lima hari ini aku selalu mimisan.

Beruntung aku tidak pernah mimisan di depan Jaemin. Padahal aku sangat takut gejalaku kambuh saat bersamanya. Untung saja Tuhan masih menyayangi Jaemin, sehingga tak membiarkannya merasa sedih gara-gara aku.

Sekarang, aku sedang dalam perjalanan ke salah satu rumah sakit di Seoul, bukan sedang pulang kampung ke Kota Iksan.

Iya. Aku bohong pada Jaemin dengan berkata bahwa aku cuti untuk pulang kampung, padahal aku ada jadwal kemoterapi di sebuah rumah sakit Seoul.

Untuk semakin meyakinkannya, aku sampai membeli tiket KTX jurusan Seoul-Iksan (station). Lalu, aku mengirim foto tiket kereta itu pada Jaemin, sehingga dia tidak meragukan ucapanku.

Demi kelancaran sandiwaraku, Jeno membantu banyak hal. Salah satunya adalah menyimpan ponselku kalau-kalau Jaemin menghubungiku dan aku sedang tak memungkinkan membalas pesannya. Jadi, kalau Jaemin mengirim pesan, Jeno lah yang akan membalasnya agar Jaemin tidak curiga.

Jeno juga mengatur skenario pertemuan kedua antara Jaemin dan Areum pada malam ini. Selama aku di rumah sakit, perhatian Jaemin akan tertuju pada Areum sehingga (semoga saja) Jaemin tidak terus-terusan memikirkanku yang sedang jauh darinya.

Aku tahu Jeno memang pintar, tapi tak kusangka dia bisa berbuat licik. Dia telah melakukan hal-hal gila untuk membantuku, seperti meminta Areum pura-pura mabuk agar gadis itu dibawa oleh Jaemin ke apartemennya secara terpaksa. Lalu, Areum akan mengulur waktu agar ia dan Jaemin bisa lebih lama bersama.

Atas semua bantuannya selama ini, aku benar-benar berterima kasih pada Jeno. Dia memang sahabatku yang terbaik.

Taksi yang kutumpangi sudah sampai di rumah sakit tujuanku. Di depan rumah sakit, aku disambut Jeno yang akan menemaniku menjalani pengobatan hari ini.

Iya. Jeno juga berbohong pada Jaemin. Dia bilang akan pulang ke Incheon, padahal dia masih ada di Seoul juga, dan sekarang tengah berdiri di hadapanku.

Astaga! Padahal ini bukan kemoterapi pertamaku. Namun, aku tetap merasa gugup. Bagaimana ini?

Kegugupanku itu ternyata bisa dilihat oleh Jeno.

"Jangan gugup, Yera! Dan tetaplah optimis!" ucap Jeno sambil memandangku lembut. "Aku yakin kau bisa sembuh."

Aku tersenyum tipis padanya. "Terima kasih, Jeno."

Ia balas tersenyum sebentar. "Sekarang, ayo kita masuk ke dalam!" ajaknya.

---
---

Ini sudah hari kedua aku di rumah sakit. Ayah pun sudah datang dari Iksan dan menemaniku di sini.

Pukul delapan malam, Jeno datang ke ruanganku. Ia mempersilahkan ayahku membersihkan diri dan beristirahat, dan dia lah yang akan sementara menggantikan Ayah untuk menemaniku di sini.

"Ayah tinggal dulu ya, Nak," ucap ayahku sambil tersenyum.

Aku pun balas tersenyum pada beliau. "Iya, Ayah."

Setelah Ayah pergi, Jeno duduk di kursi di samping ranjangku. Kalimat pertama yang ia katakan padaku adalah...

"Jaemin berkali-kali menelepon. Bahkan sampai tiga puluh kali panggilan dalam sehari."

"Lalu apa yang kau lakukan?"

"Aku matikan ponselmu."

"Jangan dimatikan, Jeno! Jaemin bisa saja nekat pergi ke Iksan hanya karena masalah sepele begini."

Raut wajah Jeno langsung menyesal. "Ah, sial! Aku lupa kemungkinan itu."

"Sampai sekarang kau masih mematikan ponselku?"

"Akan kuhidupkan sekarang." Jeno mengambil ponselku dari dalam saku pakaiannya. "Apa kau ingin bicara dengannya?"

Aku mengangguk pelan. Kemudian, Jeno memainkan ponselku sebentar, lalu mengarahkan benda itu lebih dekat denganku.

Dengan speaker mode, aku bisa mendengar suara Jaemin tak lama kemudian.

"Kim Yera! Kenapa baru menghubungiku sekarang? Kemana saja kau? Ah! Aku benar-benar mengkhawatirkanmu karena panggilanku selalu tak kaujawab."

Aku terkekeh pelan. "Maaf ya, Na," ucapku, berusaha tidak terdengar lemah padahal kondisiku sangat lemah sekarang. "Aku benar-benar sibuk beres-beres rumah. Aku juga jalan-jalan ke berbagai tempat bersama adikku Kim Yeseong, sampai tidak sadar kalau baterai ponselku habis. Apa di sana kau baik-baik saja?"

"Tentu saja tidak, Yera! Kau membuatku sangat khawatir."

"Tenanglah, Na. Aku tidak apa-apa."

"Apa kau makan teratur di sana?"

"Iya. Aku makan teratur. Bagaimana denganmu?"

"Hmm... Baguslah. Yera, bagaimana kalau kita video call saja? Aku ingin melihatmu."

Sontak aku dan Jeno saling menoleh ke satu sama lain dengan tatapan panik.

"Tidak, Na. Tidak usah video call. Aku sedang... Ummm... Sedang..." Aku sangat bingung harus menjawab apa. Jeno pun tidak peka untuk memberiku saran, padahal aku sudah mengkodenya dengan mataku.

"Sedang apa?"

"Sedang... Ummm... Sedang mandi!"

Sungguh! Otakku tidak bisa memikirkan alasan yang lebih baik. Jeno saja sampai mengernyitkan alisnya sambil menatapku aneh.

"Bukannya itu lebih bagus, ya?"

"Nana!" seruku, lalu kulihat Jeno yang menatapku makin penuh penghakiman.

Terdengar suara kekehan Jaemin. "Kau aneh sekali, Yera. Kenapa malah membawa ponsel ke kamar mandi? Ponselmu kan tidak anti air."

"Itu untuk mendengarkan musik, agar aku tidak bosan saat sedang mandi. Lalu aku ingat belum meneleponmu, jadi sekalian saja aku menelepon sekarang."

"Aku alihkan ke video call, ya?"

"Jangan! Jangan!"

Karena panik, aku memencet tombol merah di layar ponselku, membuat panggilan teleponku dengan Jaemin langsung terputus. Biarpun tindakanku gegabah, aku tidak menyesal sama sekali.

Kuhembuskan napas lega, begitupun Jeno. Kami pun saling melirik lagi.

"Dia sangat mesum," komentar Jeno, lalu menggeleng-gelengkan kepala.

Ponselku yang sedang digenggam Jeno itu bergetar. Ia segera melihat ke layar ponselku. Kutebak itu pasti dari Jaemin.

"Jaemin mengirim chat," ucap Jeno tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

"Apa katanya?"

"Dia berkata bahwa kau sangat menggemaskan. Lebih menggemaskan dari boneka karakter Ryan miliknya."

Aku hanya tersenyum masam karena merasa malu pada Jeno yang telah membaca pesan cheesy itu.

---
-0-0-0-

IRREPLACEABLE || (NJM) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang