Aku sekarang mengerti bagaimana cinta pada pandangan pertama bekerja. Tapi sayangnya aku harus melupakan itu, aku memang bar-bar hanya saja dalam tahun pertama ini aku masih merasa jaim.
Beda jika saat SMA aku berani menggoda para guru dengan sikap centil ku. Tapi sekarang kehidupan perkuliahan seperti memberitahu padaku jika aku harus dewasa.
Di tambah ucapan kakak tingkat yang tidak sengaja aku dengar saat berada di dalam toilet.
"Itu, yang rambut kuning. Dia centil bukan sih? Laki-laki angkatannya suka sekali mengerumuninya."
"Kau benar, dia jadi seperti murahan."
Tanpa sadar aku meremat tas di pangkuan dengan kedua tanganku. Apa mungkin salah jika kita berteman dekat dengan laki-laki? Bahkan Sasuke yang dulu bersahabat dengannya bisa berpacaran dengan Sakura, tidak ada satu kata pun keluar dari Sakura tentangku yang kecentilan. Karena memang aku bisa menjaga sikap.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Sebenarnya setelah pertemuan yang mendebarkan, beberapa hari kemudian aku mengalami sedikit masalah. Pertama, aku tidak sengaja menyenggol kakak tingkat akhir laki-laki. Tapi semua orang menganggapku sedang cari perhatian. Kedua saat aku bicara akrab dengan Hashirama sensei, aku suka materinya, hanya itu saja. Tapi banyak orang yang mengadu domba diriku dengan Mito sensei.
Tapi Mito sensei sangat baik padaku, dia percaya jika aku tidak memiliki niat itu. Banyak orang menjauh, hanya Sakura dan Ino yang tetap di sisiku. Andai saja Shikamaru dan Kiba satu mata kuliah denganku, sayang sekali kami harus beda gedung. Apalagi Hinata dan Neji, mereka berada di gedung yang jaraknya jauh sekali. Mengunjungi satu sama lain pun tidak sempat.
Setelah bisikan-bisikan itu hilang, aku memberanikan diri untuk keluar. Mencari tempat sepi untuk menangis, setidaknya aku ingin menangisi diriku sendiri saat ini sebelum berubah menjadi tegar kembali.
Belum kering mataku, tubuhku justru terdiam ketika baru keluar dari toilet. Madara berdiri tidak jauh, seperti menunggu sehabis mendengarkan sesuatu. Hanya saja aku tidak mau merasa jika dia melakukan itu untukku.
Sialnya, air mata tidak berhenti turun. Justru semakin mengalir deras, aku memalukan sekali. Kutundukkan kepalaku sambil berjalan melaluinya, anehnya tanganku di tahan.
"Ikut aku."
Aku dengan tanpa pikir panjang mengikutinya, menyusuri koridor yang sepi karena jam kuliah sudah berakhir. Aku terlalu berantakan untuk pulang, ayah dan ibu pasti akan khawatir padaku.
Madara membawaku ke ruangannya, dan tanpa permisi memelukku. Membuatku semakin menjadi-jadi. Aku cengeng sekali ya, hanya masalah ini saja menangis sesenggukan. Punggungku di tepuknya beberapa kali untuk menenangkan tubuhku yang bergetar.
Aku terbuai.
🌹🌹
Tidak mengerti, sangat, sangat, tidak mengerti.
Aku terlonjak dan melepaskan tubuhku dari rengkuhannya begitu sadar apa yang telah aku lakukan. Wajahku yang sembap kini malah tambah jelek karena memerah juga.
Madara mengeluarkan sapu tangan dari balik jas nya, kemudian memberikannya padaku. Sedari tadi dia tidak membuka mulut. Hanya mengucapkan dua kata. Sepertinya julukan untuk orang ini harus di tambah dengan cool seperti es di kutub yang kau akan mati kebosanan sampai masa tua jika menunggunya mencair.
"Kau sudah lebih baik? Aku pergi."
Aku cengo ketika Madara meninggalkanku begitu saja seringan bulu. Maksudnya membawaku ke ruangannya apa? Tidak hanya dingin, bahkan aku tidak tahu apa pola pikirnya.
Sialan! Ingin ku tendang ke Ancol saja!
🌹🌹
Selama esoknya hatiku menjadi ringan, tanpa beban seperti bayi yang baru lahir. Oke itu berlebihan.
Dan sekarang aku duduk seorang diri karena entah secara bersamaan Sakura dan Ino izin bersamaan. Apa mereka tidak mau nongol di cerita ini? Dasar.
Tapi memang tidak enaknya seorang diri, aku tidak memiliki siapapun untuk diajak berbagi. Sakura dan Ino bahkan tidak tahu apa yang terjadi padaku kemarin.
Tanganku membuka kembali jurnal untuk mencaritahu mata pelajaran apa selanjutnya. Jantungku berpacu ketika melihat nama matematika, aku mulai gugup.
Kaki panjang pria dengan aura Hades nya masuk ke kelas, para wanita di sini langsung dalam posisi siaga dan berdandan se cantik mungkin. Bahkan terpesona karena Madara hanya melapisi kemeja putihnya dengan rompi, tubuhnya terlihat jelas pahatannya. Sexy memang.
Mata kami beruang kali bertumbuk ketika dia membalikkan badan dari papan tulis. Suaranya begitu manly, masuk dalam salah satu tipeku. Tentunya bentuk tubuh dan tinggi badan juga. Aku tidak mengerti angka apa yang menggambarkan tingginya, yang aku tahu aku hanya sebatas bahunya. Tidak lebih dan tidak kurang!
"Uzumaki-san."
Aku terperangah begitu mendengar namaku di sebut. Gawat, sepertinya aku ketahuan melamun. Di taruh mana mukaku ini!
"Apa ada sesuatu yang menganggumu?" Madara bertanya padaku sambil berkacak pinggang. Tapi aku bisa menemukan kekhawatiran dalam matanya walaupun sangat singkat.
"Biasa, mungkin sedang memikirkan bapak." Celetukkan terdengar, membuat seisi kelas tertawa. Aku semakin malu. Apa ini tanda-tanda aku di bully?
"Jika kalian tertawa lagi selama jam pelajaran saya. Silahkan habiskan satu bab hari ini juga." Madara terlihat mengancam, membuat satu kelas kicep. Sepertinya dia berusaha melindungi ku.
Aku harus berterima kasih padanya, bagaimana jika sekotak bento? Apa dia akan suka?
🌹🌹
Pelan-pelan dulu ya alurnya 🙈🙈
Aku memutuskan untuk melanjutkan work ini, karena support dari kalian juga. Terima kasih 🖤🖤
Maaf kalau aku gak bisa balas komen satu-satu. Terharu sekali aku dengan kalian, semoga kalian menikmati chap ini ya!
Tap ⭐ & coment
KAMU SEDANG MEMBACA
Sexy, Free, and Single!
FanfictionSummary : "Katanya di sini itu ada dosen yang mapelnya kita gak suka banget. Tapi tahu gak sih? Dia itu ganteng banget!" Telinga Naruto membesar begitu mendengar suara temannya Sakura sedang berbincang bersama perempuan berambut pirang, Ino. "Iya...