Kesediaan

936 97 33
                                    

"Naru, apakah kau hamil?"

Delikan langsung aku lontarkan kepada ibu yang tanpa berdosanya mengatakan hal itu dari pinggir dapur. Kedua tangannya memegang nampan berisi dua cangkir teh dengan kepulan yang masih terlihat di bibir cangkir itu.

Jangan abaikan ayah yang langsung menatap tajam diriku.

"Tidak! Aku tidak hamil!" Tentu saja aku gelagapan, sama dengan Madara. Kami pernah terjebak dalam situasi yang tidak pernah kami ceritakan pada orang lain dan ibu tiba-tiba menyinggung tentang itu. Seperti tahu apa yang sudah terjadi diantara kami berdua.

"Padahal kalau memang iya, mimpiku untuk punya menantu Uchiha akan terwujud." Kata-kata itu spontan membuat Madara batuk beberapa saat.

Suasana tegang yang menyelimuti kami beberapa saat hilang begitu ibu meletakkan cangkir-cangkir itu di meja.

"Maafkan Khusina, kadang bercandanya tidak berotak." Ucap ayah secara blak-blakan, bisa-bisanya dia membawa otak di kalimatnya.

"Tidak apa-apa Uzumaki-san." Sahut Madara. Aku menatapnya, dan beberapa saat kemudian dia memalingkan wajahnya padaku. Netra hitamnya menemukanku yang hampir ingin kagum dengan figur wajahnya dari samping.

"Sepertinya kita harus memberikan waktu kepada dua anak muda ini."

Aku tidak tahu apa yang terjadi, atau mungkin dia mendengar bisikan batinku. Dengan cepat Madara kembali menatap ayah dan ibu.

"Bisakah saya mengajak putri kalian jalan-jalan?"

Dan berakhir lah aku di dalam mobilnya. Setelah dia mengatakan hal itu di basement, aku pikir aku tidak akan sanggup melihatnya lagi. Hatiku seperti mulai tergores secara perlahan begitu mengingat kembali perkataannya. Tapi ketika hari ini wajahnya kembali muncul, entah kenapa rasa sakit ini tersembuhkan begitu saja. Tekadku untuk melupakan rasa ini meluap seperti gas.

Apa sebegitu cintanya aku dengan pria ini?

"Kita sampai."

Suaranya menginterupsi ku. Mataku menatap kesekitar, mobil Madara berhenti tepat didepan loby apartemen mewah yang aku pelajari penyewaannya bisa sampai berjuta-juta.

Madara keluar dari mobil, berjalan ke arahku dan membukakan pintu untukku. Oh, hanya dengan perhatian kecil seperti ini aku ingin meleleh. Bahkan tangannya mulai menggandeng tanganku dengan lembut.

Madara, sebenarnya apa yang kau inginkan?

☘️☘️

Penthouse, ternyata ada tempat seperti ini. Dan lagi, ternyata gedung apartemen yang sedang ku injak ini adalah milik Madara pribadi.

Astaga! Kenapa dia tidak memilih menikmati uang dengan santai daripada menjadi dosen yang melelahkan jiwa dan raga? Sewa perharinya saja untuk jual ginjal tidak cukup, sedangkan disini ada banyak pintu yang katanya paling ramai di tinggali daripada apartemen lain.

Bisa bayangkan berapa kekayaan rambut landak ini?

"Kau ingin makan malam?" Tanya nya sembari melepas jas dari tubuhnya. Membuatku meneguk ludah kasar, bayangkan tubuhnya tercetak jelas dari balik kemeja pas body itu. Tapi kewarasaanku kembali di saat yang tidak tepat.

"Langsung katakan saja apa maksudmu membawaku kesini." Mulutku mengatakannya dengan lancar. Padahal otakku sedang kacau memikirkan roti sobek-ah, dasar otak.

Dia terdiam sejenak, kemudian menarik tanganku untuk mengikutinya hingga mendorongku pelan untuk duduk di sofa tunggal. Dia bukannya berada di sampingku malah bersimpuh di bawahku. Membuatku hampir ingin meleleh, bahkan kedua tangannya menggenggam tanganku.

"Dengar, aku meminta maaf atas perkataanku waktu itu. Aku memang tidak bertanggungjawab karena melepaskanmu setelah apa yang ku perbuat sebelumnya."

Madara menunduk, beberapa saat hingga kemudian kembali menatapku.

"Oleh karena itu, aku menginginkan satu hal darimu. Mau kah kau pacaran denganku?"

Perkataannya begitu lambat, dan membuat perasaanku terbang jauh keatas. Mataku melebar kaget tidak mengira jika ini yang akan dikatakan seorang Madara.

Aku tidak tahan, tubuhku ingin berada di dalam pelukan hangatnya, baru satu hari berlalu dan rindu seperti membuncah begitu saja ketika melihatnya.

Dengan segera aku bergeser kepadanya, menyentuh kedua pipinya dan mempertemukan bibir kami. Madara sempat terdiam, tapi tidak lama lumatan ganas muncul darinya.

Kami saling bercumbu dengan terburu-buru, bahkan wajahku sudah memerah dengan nafas yang tersengal.

"Sentuh aku Madara." Ucapku, di tengah mabuk kepayang kecupan-kecupannya.

"Kau yakin?" Tanya nya, wajahnya kentara khawatir walaupun aku tahu dia sedang menahan diri.

Dahiku menempel pada dahinya, mengangguk dengan yakin. Tidak lama kemudian aku merasakan punggungku di sentuh dari balik pakaianku.

"Jika memang itu maumu."

Madara kembali mencumbu hingga bunyinya terdengar nyaring. Tangannya bergerak dengan lihai melepaskan kaitan braku tanpa melapas pakaian luar yang aku pakai.

Sepertinya malam ini, kami kembali mengutarakan nafsu kami yang terbendung dari balik rindu.



☘️☘️

TBC dulu yawww

Wkwkwk

Sementara segini dulu ya, aku lagi kena writer block. Jadi buntu banget mau ngetik apaan.

Maklumi kalau alurnya aneh, atau gimana gitu yaa, aku sedang mengusahakan update secepatnya lagi.

Tap ⭐ & comment

Sexy, Free, and Single! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang