3. Cinta Macam Apa Ini?

8.7K 342 27
                                    

Hana terkejut saat ia terbangun dan Hanif memeluknya dari belakang. Seingatnya, dia semalam tertidur di lantai, tapi kini sudah ada di atas tempat tidur. Matanya menatap lelaki yang semalam pergi untuk istri keduanya, bahkan menatakan satu minggu akan bersamanya, tapi nyatanya ada di kamarnya.

"Mas Hanif, kenapa di sini?" tanya Hana menyentuh pundak suaminya dengan ragu.

Mata itu terbuka dan wajah tampan itu menyunggingkan senyuman.

"Aku cemas sama kamu, benar saja kamu tidur di lantai," jawab suaminya menatap Hana yang menunduk.

"Namanya juga hari pertama, iya 'kan?" tanya Hana beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Ia pun kembali terisak, rasa perih di hatinya kembali terasa.

Namun, setiap kali di hadapan Hanif dia ingin terlihat tegar. Senyumnya selalu ia tampilkan, meskipun curiga tak pernah dia hilangkan. Hanya saja, Hanif juga terlalu manis untuk jahat padanya. Mungkinkah?

"Aku sudah bilang sama Sinta, untuk jadi temanmu. Janga memusuhimu, aku harap kamu juga." Hanif menoleh pada istrinya yang mengambil mukena dan sajadah, sedangkan ia berjalan ke kamar mandi.

"Mandilah di kamar istrimu, hari ini kamu harus sama dia," ujar Hana lemah. Sesungguhnya, ia tak mau melihat rambut basah suaminya.

"Iya, aku lupa," balas Hanif mendekat.

"Aku sudah punya wudhu," tolak Hana sambil tersenyum dengan manis.

"Nanti saat sarapan, tetaplah tersenyum. Tunjukkan kamu wanita kuat dan tegar. Supaya mereka yang mungkin mengolokmu, gak punya alasan melemahkan kamu." Hanif bukan tidak tahu bahwa keluarganya tidak menyukai Hana, tapi cintanya begitu besar pada wanita itu.

"Iya, Mas." Hana memakai mukena, lalu mulai salat subuh. Sementara itu, Hanif keluar kamar dan melangkah ke kamar lainnya. Membuka pintu dengan berat, lalu menatap istrinya yang masih terlelap.

Ia pun memasuki kamar mandi, membasuh tubuhnya yang semalam telah dia bagi pada wanita lain, selain Hana. Menyenangkan? Tentu saja, naluri lelakinya menganggap itu menyenangkan, tapi hatinya sedikit terpaksa karena itu bukan hal mudah untuk dijalani.

Selepas mandi, dia pun melaksanakan salat subuh sendirian. Kemudian berdoa dan membangungkan Sinta, agar dia pun mandi dan melaksanakan kewajiban. Selanjutnya dia keluar kamar dan menatap orang-orang yang begitu ceria di rumahnya. Hanya dia dan Hana yang mungkin hari ini sulit untuk tersenyum.

Ia pun turun dan ibunya heran melihat dia turun sendirian.

"Lho, mana Sinta?" tanya Fatma dengan senyuman menggoda.

"Dia masih mandi," jawab Hanif duduk di kursi ruang tamu.

"Mas, kok gitu sih? Namanya pengantin baru tuh ya turun berduaan." Andini menatap kakaknya.

"Aku memang pengantin, tapi aku juga punya istri yang lain. Aku harus menjaga perasaannya."

"Lho, Hana kan kata mas ngerti agama. Pasti dia siap lah dipoligami dan tahu harus gimana." Andini yang selama ini baik di hadapan Hana terlihat berbeda.

"Tetap saja, penting menjaga perasaannya. Kamu aja gak akan siap dipoligami." Hanif menatap adiknya.

"Ya gak mungkin juga, aku  kan bisa punya anak."

"Dengar, setelah ini jangan ada satu orang pun membahas anak dan anak di hadapan kedua istriku. Paham?" tekan Hanif dengan mata yang nyalang. "Kalian harus menghormati keduanya. Gak boleh ada yang dibedakan. Istri pertamaku, adalah permaisuri ... istri yang memberiku anak, juga permaisuri. Lihat, gak ada bedanya. Mengerti?"

Misteri IUD Di Rahim HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang