Antika menatap ponselnya yang sempat hilang, tapi kemudian ada di sofa dan terselip, padahal dia sudah membeli yang baru.
"Aneh sih, kok bisa ilang, terus ada di tempat yang sama. Padahal aku cari-cari gak ada tadinya." Dia bergumam dan menatap ponsel itu. Tak ada perubahan apa pun di sana. Semua tampak sama.
"Efek keselip kali ke sofa," kata Andini.
"Bisa jadi," ujar Antika.
"Eh, menurut kakak, apa Sinta akan segera hamil dan dapat anak laki-laki?" tanya Andini sambil menatap kakaknya yang menoleh malas. "Padahal, ya, mau anak laki atau perempuan itu sama aja. Anak-anak kita juga bisa dididik bisnis keluarga."
"Masalahnya gak gitu, sih, Din. Karena kepala keluarga dan nama keluarga bakal dipegang sama anak laki-laki. Contoh kita udah nikah sama suami mah, nama anak kita nasabnya ya ayahnya. Keluarga ayahnya, bukan ke Adimarta lagi. Itu yang bikin ibu keukeuh Mas Hanif harus punya penerus nama keluarga." Antika menatap adiknya yang terlihat tidak suka.
"Apa sih bedanya? Toh sama sedarah dan pertalian keluarga? Kalau kayak gini malah kesannya anak perempuan itu gak diharapkan."
"Bukan, tapi emang anak perempuan itu titipan. Gitu," timpal Antika lagi.
"Oh, ya semoga saja Sinta hamil anak laki-laki."
"Ibu optimis, karena Sinta aja punya saudara laki-laki tiga, dia perempuan sendiri."
Andini mengangguk, lalu menoleh pada ibunya yang akhir-akhir ini jarang bicara. Lebih banyak menyendiri di kamarnya atau di ruang baca keluarga.
Namun, dia tak ambil pusing. Sejak tidak lagi membantu Hanif di perkebunan dan digantikan suaminya, dia hanya peduli pada kesenangannya saja. Toh, salah sendiri mereka menganggap anak lelaki istimewa dan perempuan malah gak boleh bekerja. Padahal, ini zaman emansipasi wanita. Perempuan bahkan mendominasi di berbagai bidang.
***
Kemesraan tak lagi terlihat di sudut kamar Sinta. Hanif lebih banyak melamun dan menduga-duga, apa yang disembunyikan istri pertamanya. Tak ada lagi duka, senyum yang indah, dan bicara dengan Abah sangat serius, seolah menunjukkan ada hal yang tengah direncanakan dan tersembunyi darinya.
Hanif menarik napas dalam, ia menoleh ke arah ponsel dan menatap foto istrinya yang masih jadi gambar layarnya. Senyum teduh, tapi kini penuh misteri. Sungguh sakit, saat seorang istri tak lagi memberikan kepercayaan kepada suaminya. Semua itu, tak lain karena mungkin dia dianggap gagal sebagai suami.
"Mas," rayu Sinta mendekat dengan gaun yang tak sempurna.
"Aku sedang tidak mood, banyak urusan yang harus aku kerjakan efek kelamaan libur di rumah," ujar Hanif beranjak dari sofa dan membaringkan tubuhnya, lalu mematikan lampur kamar.
Sinta ia abaikan, padahal kemarin dia merasa sebagai lelaki luar biasa karena memiliki dua istri. Satu sangat dia cintai, satu sangat mencintainya. Namun, kini terasa aneh saat Hana seperti tak lagi membutuhkannya.
"Besok sudah jadwal kamu sama Hana lho. Secepat itu kamu bosan sama aku juga?" rengek Sinta, tapi Hanif bergeming dan memunggunginya. Menatap kosong, memikirkan istri pertamanya.
Hana sendiri sadar esok jadwal sang suami bersamanya. Setebal apa pun imannya, pahamnya soal poligami dan juga kewajiban seorang istri, ia tetap manusia biasa. Jauh di lubuk hatinya, ada rasa enggan disentuh oleh suaminya. Ia pun harus memutar otak agar bisa terhindar dari keinginan lelaki yang baru menyentuh wanita lain tersebut.
Dia pun berencana akan mengajarkan ilmu agama pada suaminya selama kebersamaan mereka. Agar Hanif tahu beratnya poligami, adab dan keharusan yang dijalani. Sehingga saat dia pergi nanti, Hanif tak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dialaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri IUD Di Rahim Hana
RomanceMega best seller KBM app. Rekor pendapatan tertinggi KBM App dengan 60jt++ hanya dalam 1 bulan 🍁🍁🍁 Blurb: Dua tahun menikah tak dikaruniai juga anak, Hana terkejut saat mengetahui di rahimnya terpasang IUD. Padahal dia tak pernah merasa memasang...