4. Pergolakan Batin Hana

11.6K 288 34
                                    

"Abah tahu, gak mudah suami menikah lagi. Bahkan yang level imannya tinggi pun, hatinya akan tetap sakit," ujar sang ayah menatap putrinya. "Alasan suamimu logis, karena kamu gak bisa kasih keturunan, makanya abah juga gak bisa nolak. Meskipun ... ini kecepetan. Kalian baru nikah dua tahun."

Hana terdiam, dia tahu ayahnya memang mengizinkan saat Hanif memberitahu bahwa akan menikah lagi dengan wanita pilihan ibunya. Bagi seorang yang paham agama seperti abahnya, alasan Hanif bisa diterima. Namun, entah jika tahu yang sesungguhnya.

"Sabar ... ikhlas, ridho, insyallah jadi pahala. Tapi ... kalau gak sanggup juga, kalau jadi zalim nantinya, kamu bisa menggugat cerai." Abah menatap putrinya yang membisu dan hanya terisak. "Semua kembali ke kamu."

Hana mengangkat wajah dan menatap abah dengan senyuman. Ia tersenyum dan mengangguk.

"Hana melihat ini, karena kebodohan sendiri. Abah sudah bilang, lelaki yang cinta sama kamu, lelaki yang kaya harta, lelaki yang terus mengejar-ngejar wanita belum tentu yang baik untuk kamu. Hana bodoh ... karena cinta buta."

"Hana, jangan menyeseali yang sudah terjadi. Kamu berhak memilih, tidak ada kewajiban kamu bertahan kalau gak sanggup. Kecuali, kamu menganggap ini sebagai ladang pahala untuk akhiratmu," papar sang ayah sambil mengusap kepala putrinya yang masih duduk di tanah. Di hadapan murid-muridnya yang diam-diam mengamati dari balik kelas mereka.

"Hana akan bertahan. Hana akan mencoba menjalaninya," katanya dengan meremas tanah, mengalihkan amarah yang menggunung di dadanya.

Setebal apa pun ilmu, setinggi apa pun iman, ada kalanya nafsu menguasai hati seseorang. Namun, Hana masih cukup tenang menghadapi amarahnya. Demi menemukan kejahatan yang telah menimpanya.

"Sudah makan?" tanya abah dengan senyuman.

"Belum lapar," jawab Hana berdiri dan menatap sang ayah.

"Makanlah, sabar itu butuh tenaga, ikhlas juga butuh tenaga," ujar sang ayah lembut. Ia memapah putirnya ke ruang makan rumahnya.

"Ambu, andai masih ada ... mungkin Hana punya teman cerita," katanya menoleh pada sang ayah.

"Makanlah," ujar Abah duduk di sisi putrinya yang mencoba menyuapkan makanan.

Di sisi lain, Hanif heran karena sudah jam dua siang Hana tak terlihat sama sekali. Hari ini dia masih cuti dan masih seharian berada di rumah. Hanya terlihat kakak dan adiknya juga ibunya, juga anak-anak mereka. Namun, Hana tak terlihat di mana pun juga.

Ia keluar dari kamar Sinta, berjalan cepat menuju kamarnya dengan Hana. Namun, istrinya itu tidak ada. Dengan cepat, dia kembali ke kamar istri keduanya yang heran melihat kepanikannya. Tangannya pun cepat mengambil ponsel, lalu menghubungi istrinya.

Hana menoleh ke arah ponsel yang tergeletak. Matanya ia alihkan pada abahnya yang menatapnya dalam.

"Dia masih mikirin kamu, dia masih peduli sama kamu. Gak ada alasan syar'i untuk kamu minta cerai, selain alasan dia menikah lagi," ujar abah dengan menarik napas dalam.

Tarikan napas berat Hana menandakan ia gamang. Namun, ingatannya tentang IUD misterius itu membuatnya meraih ponsel dengan cepat.

"Kamu di mana, Hana? Aku gak lihat kamu di rumah sudah hampir beberapa jam?" tanya Hanif panik, seolah takut istrinya pergi dari rumahnya. Sinta bahkan meremas dadanya, melihat kepanikan dan kecemasan suaminya.

"Di rumah abah, ngobrol."

"Apa kamu yang kamu bahas? Jangan bilang kamu minta dia ...."

"Abah bilang kamu suami yang baik, tidak ada alasan aku meminta talak darimu," ujar Hana menatap ayahnya yang hanya tersenyum pahit.

Misteri IUD Di Rahim HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang