7-Masih Canggung

286 41 1
                                    

Meja-meja lain telah kosong. Lampu di ruangan yang hanya tertutup kaca itu juga telah padam. Suasana terasa semakin hening. Hingga suara ketikan itu terdengar cukup nyaring.

Eno menatap file Ms.Word yang berisi proposal untuk game terbaru nanti. Matanya terlihat memicing dan wajahnya mengeras. Terlihat ada semangat membara muncul dalam dirinya. Semangat yang sebenarnya bercampur dengan emosi.

Dap....

Ruangan yang sebelumnya agak terang itu seketika padam. Eno mendongak, melihat lampu yang seluruhnya padam. Hanya sinar dari laptopnya yang tidak seberapa. "Aaaah!"

Eno mengusap wajah dengan lengan. Dia duduk bersandar sambil melipat kedua tangan. Matanya perlahan terpejam, ingat kejadian tadi pagi, saat Greta tidak mau berbicara dengannya. Sampai sekarang, mereka juga tidak saling mengabari.

Dap....

Lampu kembali menyala. Eno menyadari hal itu meski tidak membuka mata. Dia masih mencoba menahan rasa gejolak yang kembali muncul di dadanya.

"Gue pikir lo bakal balik."

Eno hafal dengan suara yang tiba-tiba terdengar itu. Dia membuka mata dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Gustaf yang menatap dari kejauhan, geleng-geleng melihat tingkah temannya itu.

"Gue masih bisa lihat semangat lo." Gustaf menepuk pundak Eno. "Tapi nggak perlu berlebihan, lah. Ini udah jam satu malem. Harusnya lo tidur."

"Gue masih punya banyak semangat."

Gustaf menarik kursinya dan mendekatkan ke Eno. Wajah sahabatnya itu terlihat serius, seolah-olah akan mengalahkan musuh. "Apa yang tiba-tiba bikin lo jadi semangat?"

"Ya nggak tahu! Pokoknya gue semangat."

"Bentar...." Gustaf memposisikan jari telunjuk di depan bibir sedangkan matanya terlihat ke atas, tampak berpikir. "Ada dua kemungkinan kepada orang jadi berlebihan."

"Kenapa?" Eno melirik Gustaf dan mendorong kepalanya. "Nggak usah sok tahu."

Gustaf langsung menunjuk Eno dengan senyum jail. "Lo lagi patah hati?"

Wajah Eno langsung memerah. Dia menatap Gustaf dengan pandangan yang sulit diartikan. "Kenapa lo ngira gitu?"

Kreeekk....

Kursi yang diduduki Gustaf semakin mendekati kursi Eno. "Bener?"

"Nggak usah sok tahu!" Eno mendorong kening Gustaf. "Udah sana balik. Ngapain juga nungguin gue!"

Gustaf tetap berada di posisinya. "Orang patah hati itu semuanya jadi berlebihan," jawabnya. "Sedih berlebihan, semangat berlebihan semuanya jadi berlebihan."

Eno menggerakkan pundak dan duduk tegak. "Gue nggak patah hati."

"Tapi lo terlihat patah hati."

Duk....

Kedua tangan Eno langsung memukul meja. Dia menatap Gustaf dan menunjuk wajahnya sendiri. "Gue kelihatan patah hati?"

Gustaf mengangguk. "Gue nggak salah, kan?"

"Hahaha...." Eno membuang muka sambil tertawa terbahak. Namun, lama-lama tawa itu menjadi sumbang. "Kelihatan kalau gue patah hati?"

"Berarti lo bener lagi patah hati...."

"Enggak!"

"Bener!" Gustaf berdiri dan masih menunjuk Eno. "Orang yang patah hati nggak boleh dibiarin sendiri. Ayo gue temenin!" Dia menutup laptop Eno dan memasukkan ke tas. Setelah itu dia menyampirkan tas Eno ke pundak.

Long-WindedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang