10-End

471 55 1
                                    

Gadis dengan sweater over size berwarna putih itu duduk di depan televisi yang menayangkan situasi komedi. Matanya terlihat serius menatap layar di depannya. Seolah-olah dia melihat berita politik yang penuh polemik.

Gadis lain diam-diam memperhatikan. Dia menyodorkan apel yang telah dikupas ke gadis yang fokus menonton itu. "Ta. Nggak mau?"

Pandangan Greta teralih. Dia melihat potongan apel dan mengambilnya. "Thanks...."

Lintang menatap depan, melihat beberapa member dari sitkom itu yang saling marah dengan ekspresi agak berlebihan. "Hahaha."

"Hiks...." Greta justru beraksi berbeda.

Sontak Lintang menoleh. "Lo nangisin apa?"

Greta tidak menjawab. Dia mengambil sepotong apel lagi dan melahapnya. Air matanya masih saja turun dan dia membiarkan itu.

Lintang menempelkan tangan ke leher Greta. "Kok badan lo panas?" Kemudian dia menyentuh kening sahabatnya. "Lo sakit, Ta?"

"Gue sakit tapi lo nggak ngerti!" Greta menghapus air matanya dengan lengan.

"Ya lo kelihatan baik-baik aja." Lintang meloncat dari sofa dan berlari menuju dapur. Dia mengambil kotak obat dan kembali ke ruang tengah. "Lo pusing, kan? Demam biasa?"

"Lo nggak akan tahu penyakit gue!"

"Ha?"

"Lo nggak akan tahu!" Greta menjawab dengan ketus. Dia menatap depan dan melihat seseorang yang menangis. "Haaaa." Kemudian dia ikut menangis.

Lintang menggaruk belakang kepala melihat keanehan sahabatnya. Dia menutup kotak obat kemudian memilih menuju kamar. Dia sempat mengintip dan Greta masih saja menangis.

Greta mengerucutkan bibir ingat apa yang terjadi satu minggu yang lalu. Setelah Eno menciumnya, dia mengusir lelaki itu. Eno langsung pulang tanpa menjelaskan apapun. Padahal, dia ingin melihat lelaki itu yang berusaha menjelaskan. Seperti waktu itu.

"Hiks... Hiks...."

Di dalam kamar, Lintang masih mendengar Greta yang masih menangis. Dia mengambil ponsel dan mencari kontak Eno. Dia yakin, Eno pasti tahu apa yang terjadi dengan Greta.

"Haaaa!" Greta menjerit sebal.

Lintang berjalan keluar dan berdiri di depan Greta. "Mau gue teleponin Eno?"

"Eno? Siapa itu? Enggak kenal!" Greta mematikan televisi kemudian berjalan menjauh.

Pandangan Lintang masih mengikuti Greta. Dia yakin, pasti ada masalah lagi. Mungkin kali ini lebih berat dari sekadar ciuman waktu itu. "Fix! Gue harus hubungin Eno!" Kemudian dia memencet tombol hijau dan menghubungi Eno.

"Apa, Tang?" Suara Eno akhirnya terdengar.

"Temen lo kenapa? Aneh banget."

"Capek gue hadepin dia!"

Lintang menggaruk kening. "Udah seminggu ini nggak ke mal dan ngurung diri di kamar. Lo tahu nggak, masa nonton sitkom dia nangis kenceng. Aneh nggak?"

"Emang aneh!"

Ekspresi Lintang sedikit berubah. Jawaban Eno terkesan tidak peduli. Lelaki itu juga terlihat aneh. "Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"

"Gue lagi kerja. Bye!"

"No! Eno!" Lintang menjerit karena Eno menghindarinya. Dia menggaruk kepala dengan wajah sebal.

"Eno nggak bisa dihubungi, ya?" Ternyata, Greta mengintip dari celah pintu.

Lintang berbalik, melihat mata Greta yang memerah karena air mata. "Lo ada masalah apa lagi, sih sama Eno? Gue nggak bisa hadepin lo yang kayak gini."

Long-WindedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang