Kisah Untuk Dinda #3

9.5K 699 23
                                    


Sudah resmi tiga hari Dinda bekerja sebagai Wakil Direktur Salon Lucy, sebetulnya tidak terlalu berat, tapi cukup mendebarkan. Dia harus menjaga reputasinya sebagai contoh yang baik di hadapan karyawan, menjaga tutur bicara dan juga sikap. Seperti pagi ini. Tepat ketika jam menunjuk pukul enam pagi, Dinda sudah bersiap-siap, alarm berbunyi tidak lagi sesuatu yang tidak dia hiraukan. Dia bangun, membereskan tempat tidur, supaya ketika pulang dalam kondisi lelah, melihat kamar rapi adalah kebahagiaan sederhana. Dinda bergegas mandi, memilih pakaian terbaik yang akan dia kenakan. Pilihannya tertuju ke sebuah kemeja berwarna merah muda, sepatu higheels dengan warna senada, rok dan slayer berwarna abu-abu.

Dia mulai berdandan, menyapukan maskara ke bulu matanya hingga lentik seperti bulu mata angsa. Tak lupa eye-shadow dengan warna biru yang berani. Tidak senada, tapi bukankah fashion adalah hal abstrak, sesuatu paling dibutuhkan adalah rasa percaya diri.

Dinda pernah mendengar celetukan iseng seorang laki-laki ke temannya sewaktu sedang menunggu kereta di peron, "Gue tuh lebih suka cewek natural daripada suka pake make-up, rempong," yang berkomentar sewaktu Dinda sedang memoles lipstiknya—seakan-akan komentar itu ditujukan ke Dinda. Yah, sebetulnya Dinda ingin bilang ke semua kaum laki-laki agar mereka tidak terlalu percaya diri karena sesungguhnya perempuan pun berdandan untuk diri mereka sendiri, bukan menarik perhatian mereka, seolah-olah itu adalah hal penting yang harus dilakukan di muka bumi.

Dinda kembali melanjutkan aksi make-over-nya dengan menyapukan lipstik merah ke bibirnya yang tipis. "Perfecto," gumam Dinda puas melihat pantulan dirinya di cermin, seperti Narciscus yang terpesona akan bayangannya sendiri. Setelah puas dengan tampilannya, dia segera memesan jasa mobil online yang siap mengantarnya pergi ke kantor. Sembari menunggu, Dinda mengirim sebuah chat ke Geri.

Gutten Morgen, Hon. Aku udah mau berangkat kerja, nih. Selamat beraktivitas! Luv :*

"Udah mau berangkat?" Dinda menoleh dan melihat Nek Asia sedang menyiram bunga, dia menuju ke rumah tetangganya itu. "Iya nih, rajin banget sih Nek, pagi-pagi udah nyiram bunga ...," cuping hidungnya bergerak, terlihat seperti mengendus sesuatu. "Masak semur, ya? Aromanya sampai sini."

"Semur jeroan."

"Yummy, aku mau dong!"

"Iya, nanti Nenek sisain."

"Makasih, Nek!" Dinda memeluk Nek Asia, baginya Nek Asia sudah dia anggap seperti neneknya sendiri. "Sandra udah bangun belum?"

"Udah, di dalam kayaknya."

Dinda segera menyelonong masuk dan melihat seorang cewek berbaju hitam bergambar tengkorak dan rambut dicepol asal-asalan sedang makan di depan ruang TV dengan kaki naik ke atas meja. "Woi! Tumben udah bangun? Jagain toko bunga gue, ya." Sandra adalah cucu dari Nek Asia, yang dipindahkan dari Surabaya dua tahun lalu ke Jakarta karena orangtuanya bercerai. Ibu dan ayahnya sudah menikah lagi, Dia yang tidak ingin tinggal dengan kedua-duanya memilih untuk tinggal bersama Nek Asia.

"Udah nggak mandi berapa hari lo? Bajunya itu mulu, nggak ganti-ganti."

Sandra melirik pakaian Dinda. "Beda ya yang sekarang udah kerja kantor? Kerja di mana, sih? Ngepet lo?" Usia Sandra 19 tahun—seharusnya dia berkuliah, tapi Sandra memilih untuk bekerja dahulu, mengumpulkan uangnya hingga cukup membiayainya kuliah.

"Iya, nanti malem gentian lo, ya, jaga lilin."

"Kurang ajar!"

"Dinda, ada mobil nungguin. Kamu yang pesan jasanya?"

KISAH UNTUK GERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang