Terima kasih buat antusias kalian, ini part 1-nya, selamat membaca:
1.
Sebuah teriakan melengking memenuhi ruangan kamar seorang cewek yang sekarang terduduk tegak di atas ranjangnya. Bukan suara tukang sayur. Bukan juga suara tukang pos, alih-alih suara Dinda yang terkejut waktu melihat jam bekernya sudah menunjukkan waktu pukul tujuh pagi. Cewek itu melompat dari atas kasur. "Kenapa gue nggak dibangun, sih, woi!" teriaknya jengkel pada Bi Umnah, pembantu rumah tangga yang sudah bekerja di rumahnya sejak Dinda masih bayi, yang tahu sikap baik dan buruknya Dinda, juga yang paling bersabar menahan teriakan, amukan dari Dinda yang suka marah tidak jelas. Pasalnya, serapi apapun pekerjaan Bi Umnah, pasti terlihat tidak sempurna di mata anak majikannya itu.
"Udah saya bangunin, Non dari tadi, tapi nggak bangun-bangun."
"Ya Bibi banguninnya yang serius, dong!"
Masalahnya, pernah Bi Umnah membangunkan Dinda dengan mengguncangkan bahu cewek itu, efeknya justru dia marah besar. Berteriak sepanjang pagi sampai membuat seisi rumah sakit telinga dan kepala.
"Baju gue udah disiapin belum? Sepatu? Tas? Jadwal? Kaus kaki?" tanyanya beruntun. Dinda yang sekolah, tapi membuat pusing satu rumah. Sebut saja Dinda anak manja, tidak bisa melakukannya sendirian, semua serba pembantu. Bahkan memilih kaus kaki dan kaus dalam pun.
Bi Umnah mengangguk.
"Iya udah, buruan keluar, gue mau mandi." Mendengar perintah itu, Bi Umnah berlari terbirit-birit keluar kamar. Telat sedetik bisa membuat Dinda marah besar, singa saja bisa kalah menyeramkan.
Dinda segera mandi, jangan kira kalau waktu mandinya seperti anak kebanyakan yang kalau telat biasanya cuma cuci muka dan sikat gigi. Dia harus luluran dulu supaya bersih, mandi sepuluh menit, dan meyakinkan dirinya benar-benar wangi. Aroma parfum mahal menguar keluar dari kamar setelah cewek itu selesai mandi, memakai baju sekolah dan semua yang telah dipersiapkan Bi Umnah, tak lupa memoles bedak, lipstik berwarna pink serta softlens hitam melapisi bola matanya yang berwarna cokelat gelap, dan yang tak kalah penting harus mencatok rambutnya supaya lurus. Dia harus terlihat menawan di hari pertama menjadi murid kelas sebelas.
Cewek itu keluar dari kamar dan turun ke lantai satu, menuju ke meja makan. Melihat sebuah sandwich sudah disiapkan. "Siapa yang nyuruh buatin sandwitch? Pake daging sama keju, lagi! Kalian mau gue gendut? Tahu nggak, gue butuh waktu sebulan nurunin dua kilo. Terus, kalian mau berat badan gue naik lagi karena makanan ini? Ganti, buruan, gue mau salad buah." Betul, kan? Pasti selalu salah.
Bi Umnah segera mengambil sandwich di piring Dinda dan terburu-buru menyuruh koki pribadi yang memasak makanan untuk mengganti salad.
"Mana Papa sama Mama?"
"Udah berangkat, Non, dari subuh tadi." Itu jawaban sehari-hari, sebetulnya pertanyaan Dinda hanya bentuk formalitas belaka yang dia sudah tahu apa jawabannya. Tiap kali Dinda bangun, ayahnya pasti sudah berangkat kerja, terkadang juga tidak pulang karena harus lembur atau ada hal lain yang harus dia lakukan sampai tidak punya waktu bertemu dengan keluarga. Begitu pun dengan ibunya. Siapa yang tidak mengenal nama Larasati Wijayakesuma. Nama yang terkenal di kalangan sosialita. Padahal ibunya adalah ibu rumah tangga, tapi sibuknya sudah melebihi orang bekerja; harus ikut arisan tas bermerek Hermes atau Louis Vuitton, berbelanja ke Singapura, atau liburan ke luar negeri bersama teman-temannya dengan dalih supaya tidak stress terlalu lama berada di rumah. Kalau orangtua lain menganggap berada di rumah ditemani keluarga adalah surga, tidak dengan ayah dan ibunya, rumah adalah pilihan terakhir jika memang sudah kelelahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH UNTUK GERI
Teen Fiction(Telah Terbit dan Di-Serieskan) Dinda memiliki semua yang diidamkan remaja dalam kehidupannya; tajir, cantik, populer dan dipuja oleh banyak cowok di sekolah hingga akhirnya dia kehilangan semua yang dia miliki dalam waktu secepat kedipan mata. Dind...