4.
Pemeriksaan perdana terhadap Setyo Wijayakesuma baru saja usai di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. Pria itu kini tengah berdiri di depan pintu, berhadapan dengan para media massa. "Saya, Setyo Wijayakesuma, mengucapkan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada pihak yang merasa dirugikan. Saya juga menyatakan kooperatif dengan KPK. Terima kasih."
Dinda berdiri di belakang ayahnya, bersama dengan ibunya, berusaha memberi dukungan moril ke Setyo. Hingga akhirnya Setyo digiring menuju ke lapas sebagai tahanan KPK, Dinda dan Laras mengikuti dan sesampai di lapas, meminta waktu untuk menemui Setyo.
Di sebuah ruangan kecil, mereka bertemu lagi. Keheningan merebak, tidak ada yang berani angkat suara hingga akhirnya Setyo berusaha untuk membuka percakapan. Dinda menatap Setyo, raut wajah ayahnya terlihat seperti orang kelelahan dengan lingkaran hitam tepat di bawah kelopak matanya. "Maaf, karena Papa, kalian harus menanggung semuanya."
Laras menggeleng. "Aku udah bilang berkali-kali, aku sudah memperingati kamu untuk berhati-hati, kan? Lihat, kamu nggak pernah mau dengar, Mas!" Ibunya emosi. "Yang kena getahnya bukan hanya kamu, tapi juga aku dan Dinda. Rumah, uang, semua harta benda akan segera disita. Kita jatuh miskin. Terus, mau makan pakai apa?"
"Kenapa kamu nyalahin aku aja? Uangnya juga kan kamu pakai untuk bersenang-senang, hura-hura dengan teman arisanmu itu. Jangan seakan hanya aku yang bersalah, aku pakai uang itu untuk memenuhi seluruh keinginannmu itu." Dinda mendengarkan keduanya dengan miris, bahkandi situasi seperti ini, masih saja bertengkar.
"Kamu harus lihat kondisi rumah yang aku dan Dinda tempati sekarang, kumuh, bau, dan harus hidup tanpa kamu!"
"Ma, udah cukup." Dinda menengahi.
Laras mengatupkan bibir. Begitu pun Setyo yang tidak berani menatap istri dan anaknya, terlalu diliputi rasa bersalah mendalam hingga begitu mencekik leher. Sudah beberapa hari dia tidak napsu makan, tidak bisa tertidur nyenyak, tidak memiliki apa-apa untuk rencana ke depannya.
Polisi datang. "Waktunya sudah habis, Pak."
Dinda berdiri, lalu memeluk Setyo. Dia buka bibirnya susah payah untuk mengatakan sesuatu, sebelum waktunya habis. "Pa, Mama galak kalau nggak ada Papa," bisiknya mengadu. "Aku harus ngadu sama siapa kalau Mama marah-marah?"
Setyo tertawa dalam kesakitan, ada luka yang tidak bisa dia ucapkan. Terlalu dalam, terlalu menyakitkan, sampai lupa bagaimana caranya untuk menyembuhkan. "Kamu sehat-sehat ya, jangan lupa makan, kamu tuh kebiasaan harus dipanggil Bi Umnah dulu kalau mau makan. Kalau minum susu, dihabisin, jangan kebiasaan disisain sedikit. Kalau mau tidur, jangan lupa pake selimutnya, jangan dilempar ke bawah kasur. Terus, kalau nyetel lagu di kamar jangan besar-besar, kasihan tetangga nanti keganggu. Ok, Nak?"
Mendengar itu, ada sebagian dalam dirinya remuk redam dari dalam. Luka yang tidak kasat mata, tapi bukankah itu jenis luka yang paling berbahaya? Sukar untuk disembuhkan karena tak terlihat dari luar.
Dinda mengangguk, lengannya masih memeluk Setyo seerat mungkin. Dia merasakan tangan Setyo mengusap rambutnya. Polisi kembali memberitahu bahwa waktu telah habis. Tangan Setyo segera diborgol. Setyo memandang Laras. "Titip Dinda, ya," ujarnya, lalu berbalik.
Laras mendekat, menyentuh bahu Dinda. Membiarkan anaknya itu berbalik memeluknya. Menepuk pundaknya supaya tenang, Dinda sendiri tidak mengerti, dirinya yang selalu terlihat tegar dan kuat, kini berubah jadi anak cengeng. Seakan ada keran otomatis untuk mengeluarkan air mata.
Laras menepuk-nepuk bahu Dinda yang menangis sesenggukan, menenangkannya, kembali lagi seperti memperlakukan bocah dua tahun yang kalau menangis harus ditenangkan dengan memberi tepukan pelan untuk memberi tanda bahwa semua akan baik-baik saja selagi ada Ibu di sisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH UNTUK GERI
Teen Fiction(Telah Terbit dan Di-Serieskan) Dinda memiliki semua yang diidamkan remaja dalam kehidupannya; tajir, cantik, populer dan dipuja oleh banyak cowok di sekolah hingga akhirnya dia kehilangan semua yang dia miliki dalam waktu secepat kedipan mata. Dind...