2.

227K 11.4K 1.4K
                                    


2.

Bel istirahat berbunyi. Murid-murid keluar sedangkan Dinda baru saja diperbolehkan masuk setelah kelelahan dihukum oleh Bu Rena. Dia menemui kedua temannya, Jassy dan Kiara, lantas pandangannya tertuju pada Jia yang tertangkap basah sedang menatapnya sebal. Tadi, Dinda sempat melihat Twitter-nya, mengecek timeline untuk melihat berita baru, hingga tanpa sengaja menemukan sebuah tweet dari Jia yang di-retweet oleh akun kelas. Tweet itu menyindir dirinya.

Kalau seandainya ada pertanyaan siapa cewek paling dibenci Dinda di sekolah, jawabannya adalah Jia. Tidak ada asap kalau tidak ada api, Dinda membenci Jia bukan tanpa alasan. Pasalnya, cewek itu selalu mencari cara untuk mengalahkannya. Dari segi otak, baiklah, Dinda bisa mengalah. Dia sadar diri kalau dirinya tidak sepintar Jia. Tapi kalau dari segi fashion, Dinda masih di atasnya. Makanya terkadang Jia jadi suka ikut-ikutan. Seandainya Dinda membeli tas baru bermerek Gucci, besoknya Jia pun tak mau kalah. Hampir sama, hanya beda warna. Kalau Dinda beli sepatu, Jia juga jadi ikut-ikutan, dengan model dan merek sama persis. Terus-menerus mengurangi siklus yang tidak akan pernah putus itu.

"Maksud lo apa nge-tweet begini? Lo kira gue nggak bakal baca?" Dinda menunjukkan layar ponselnya.

Jia terlihat kaget, dia menatap sekeliling, berharap mendapatkan pertolongan. "Bukan buat lo kok, jangan kegeeran."

"Oh ya?" Dinda melirik layar ponselnya. "Panas mata gue liat satu cewek yang jadi ketua geng cewek di sekolah, bisanya cuma obral paha sama dada, tapi nggak ada otak. Nggak guna. Dasar sampah," cewek itu membaca tweet-nya keras dengan nada suara dibuat-buat. "Iya gue yang geer, itu emang buat gue, kan?"

Jia tidak bisa berkutik.

Dinda memukul meja. "Jawab! Gue ngomong sama lo, bukan sama tembok."

Karena tidak ada bukti untuk mengelak, Jia akhirnya menghela napas. "Iya, emang buat lo. Gue nggak suka liat lo sama geng lo di kelas, bisanya cuma buat kerusuhan, nyontek tugas orang, pamer kecantikan. Toxic tahu, nggak—" belum sempat Jia menyelesaikan ucapannya, Dinda sudah maju menyerang. Menjambak rambut Jia ke dalam lilitan kelima jemari kanannya.

Diserang seperti itu, Jia pun tidak mau kalah, dia balas menjambak rambut Dinda. Mereka bertengkar sampai ke luar kelas. Pertengkaran sengit tidak bisa dielakkan. Mereka berdua bertengkar di lorong sekolah dan menjadi pusat perhatian dari semua orang yang berlalu-lalang. Geri yang berniat ke kantin jadi ikutan menonton.

"Gila ih, cewek kalau berantem serem ya, tarik-tarikan rambut." Aditya berkomentar sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Ya emang mau tarik-tarikan apa lagi? Masa kayak lo, bisanya narik pentil gue kalau berantem," balas Budi menyindir Aditya yang gemar melakukan 'cutek' alias cubit-tetek kalau jahilnya sedang kumat.

"Tarik-tarikan baju, gitu maksud lo?" balas Geri. "Dasar bangor." Dia mendorong wajah Aditya.

"Sumpah ya, liat cewek berantem itu jauh lebih brutal daripada cowok."

"Karena cewek udah adu fisik, adu verbal juga, sakit lahir dan batin, Bud." Geri menambahkan.

Dinda merobek lengan baju Jia hingga baju itu terbuka lebar. Orang-orang memekik terkejut, ada sebagian menutup bibir saking kagetnya, sementara cowok-cowok langsung memelotot dan bersiul kesenangan. "Baru aja diomongin, eh ternyata kejadian," Geri menggelengkan kepala, tidak habis pikir.

Perkelahian berhenti karena Bu Rena muncul sambil membawa penggaris kayu panjang legendarisnya. Semacam tongkat sakti, satu-satunya alat yang bisa membuat muridnya menuruti perintah daripada terkena risiko terpukul penggarisnya yang bisa buat badan memar biru-biru.

KISAH UNTUK GERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang