• 00. | Sama Rapuhnya

203 18 0
                                    

[  • s a m u d e r a   p e r m a t a •  ]

Hi.

Ini hanya cerita sederhana tentang kehidupan seorang lelaki remaja SMA yang hidup dikeluarga kaya.

Mungkin bagi kebanyakan orang, hidup dikeluarga kaya itu menyenangkan, tapi tidak bagi dia. Kaya saja tidak cukup.

Baginya yang di inginkan itu keluarga yang harmonis.
Dia ingin keluarga yang saling sayang.

Diteras balkon kamarnya, dia menatap langit malam dengan indahnya bintang.

Dari sekian banyak bintang, hanya ada satu yang mencuri perhatiannya. Itu bintang yang paling terang malam ini.

Dia yakin kalau bintang itu adalah seseorang yang sangat dia sayang, tapi tuhan lebih sayang padanyaㅡAyahnya.

Hanya ada suara jangkrik yang mengubah suasana malam semula mati menjadi agak lebih hidup.

Semilir angin malam menusuk ketulangnya, dia suka dengan angin malam. Disaat dia kesepian disetiap malam, memikirkan hal-hal yang selalu memenuhi kepalanya. Memikirkan mengapa nasibnya seperti ini.

Dia sangat membutuhkan sebuah dekapan, sebuah pelukan. Namun tidak ada yang bisa melakukan itu, tapi dengan murah hati si angin malam selalu memeluknya, memberikan kehangatan tersendiri untuknya.

Dia sangat menyukai angin malam.

Suara bel dan gedoran pintu rumah membuyarkan ritual malamnya saat itu. Iya ritual malam, Melamun.

Dia beranjak pergi dari balkom kamarnya guna membuka pintu yang sedari tadi di gedor entah oleh siapa.

"Ini udah malem siapa sih yang bertamu?"dia berjalan dengan terburu-buru. Pasalnya si pengetuk pintu itu terus mengetuk, bahkan sekarang terdengar bunyi gedoran yang lumayan kencang dan brutal.

"Ck. Siapa sih, ga sopan banget jadi tamu"

Dia membuka pintu rumah dan bisa dilihat dari wajahnya. Dia kaget melihat seseorang didepannya dengan keadaan yang eum(?).

"Abang-"

Belum sempat dia melanjutkan kalimatnya. Orang yang dia panggil abang sudah lebih dulu berjalan masuk menabrak sebelah bahu nya.

Bau tak sedap menyeruak menusuk indera penciumannya saat orang itu melewatinya.

"Bang Radit. Abang kenapa?" Dia mengejar abangnya menuju kekamar. Belum sempat ia ikut masuk, pintu masuk sudah lebih dulu ditutup keras hingga terdengar bunyi keras.

Brakk

Dia memejamkan matanya.

Tok tok tok

Dia mengetuk pintu kamar abangnya.

"Bagas masuk ya, bang?" dia masuk saja saat tak mendengar jawaban dari abangnya. Terobos ajalah.

Dia ingin bertanya kenapa abangnya pulang dengan keadaan seperti itu.

Dia melihat abangnya yang masih menggunakan seragam sekolah dan sepatu yang masih terpasang dibadan dan kakinya terbaring diatas kasur.

Dia duduk disamping abangnya yang sedang terbaring memejamkan matanya.

"Bang Radit habis minum lagi ya?" Dia tahu, tapi dia ingin bertanya dan mendengar langsung dari abangnya. Dari bau ditubuh abangnya saja dia sudah tau kalau abangnya itu habis minum.

"Kalau sampe mamah sama ayah tau abang minum pasti abang dimarahin"

"Ya lo tinggal diem aja gausah ngadu ke mereka" dia berkata demikian dengan mata yang masih terpejam.

"Bagas ga pernah ngadu ke mereka bang"

"Tapi kenapa mereka tau!" Radit meninggikan nada bicaranya tapi masih dengan posisi yang sama.

'Udah pw ya dit'- aya

Bagas menghela nafasnya. Dia mendekatkan diri pada kaki Radit, dia mengulurkan tangannya untuk membuka sepatu Radit yang masih terpasang dikakinya.

Belum sempat Bagas membuka sepatu itu. Radit mendorong kakinya membuat Bagas terhentak kebelakang.

Radit merubah posisi menjadi duduk, mata merahnya menyorot tajam kearah Bagas, adik tirinya itu.

"Singkirin tangan lo anjing!"

"Ga usah sok perduli lo sialan!"

Radit mendekat mendorong tubuh Bagas hingga dia jatuh terduduk dilantai. Bagas menunduk dengan tangan mengepal.

"Lo ga usah ngerasa paling tersakiti disini!"

"Lo dan mamah lo udah hancurin semuanya, termasuk kehidupan gue!." Ucap Radit dengan penekanan disetiap katanya.

Nafas Radit memburu, semua emosi yang dia tahan sedari tadi dia keluarkan sekarang, di hadapan Bagas

Bagas menundukan kepalanya dalam-dalam, bahunya bergetar.

"Maaf bang, tapi Bagas ga bisa ngelakuin apa-apa." Batin Bagas.

Sakit. Mereka berdua sama-sama tersiksa.

"Bang" Bagas mendongakkan kepalanya, terlihat jelas wajah sendunya.

Radit menatap Bagas "Stop panggil gue abang. Gue bukan abang lo. Dan gue ga pernah punya adik karena adik gue udah mati." Tenang, ucapan Radit terdengar tenang dan dingin namun menusuk hati Bagas.

Radit menunjuk arah pintu dengan mata yang masih menatap datar Bagas.

"Keluar dari kamar gue!" Bagas mendongak, matap Radit.

"Lo tuli hah? Keluar brengsek!" Radit menarik tangan Bagas membuat Bagad bangkit dari duduknya. Radit menyeret Bagas kearah pintu dan mendorongnya.

"Lo ngga usah sok perduli sama gue. Karena gue ngga akan pernah anggep lo ada!" Ucap Radit lalu menutup pintu, membuat jarak antara Bagas dan dirinya.

Bagas memukul dadanya, sesak rasanya. Dia menyenderkan tubuhnya di dinding sebelah pintu kamar Radit.

Dibalik pintu. Didalam kamar itu Radit juga merasa tak berdaya.

[  • s a m u d e r a   p e r m a t a •  ]

Hellaww semua

Jangan panggil aku
author/thor, mimin/min.

Panggil aku Mba Aya atau Aya aja.

W A R N❗ D I S C L A I M E R ●

Diharapkan untuk pembaca yang membaca cerita ini. Saya harap kalian bisa memberi saya feedback berupa vote dan komen. Bukan apa-apa, itu semua demi kelancaran saya dalam melanjutkan cerita ini.

Oke see ya

Tertera,
Mba Aya.

Samudera PermataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang