BAGIAN 2

110 87 57
                                    

Rumah kami kecil, bahkan menurut ukuran warga anogia, tapi setidaknya kami memiliki pemandangan yang cukup indah. Sebelum masalah tiba,dalam salah satu masa libur meninggalkan keprajuritan, ayah membangun rumah kecil ini sedikit tinggi supaya kami bisa melihat pemandangan ke seberang sungai. Walaupun menembus kabut musim panas, kami dapat melihat dengan jelas kantong-kantong daratan tandus yang dulu merupakan hutan, kini terlupakan begitu saja. Petak-petak di depan sana tampak seperti penyakit namun, di arah utara dan barat, bebukitan yang tak terjamah menjadi sebuah pengingat bisu. Ada jauh yang lebih banyak diluar sana ,diluar dari diri kami, diluar dari penalaran kami, diluar dari kaum kelas atas, diluar dari segala sesuatu yang kutahu.

Aku menapaki kaki ke tangga rumah, kayu lapuk yang dibentuk oleh tangan-tangan yang naik turun setiap hari. Dari ketinggian ini aku melihat beberapa perahu yang mengarah ke hulu sungai, dengan bangga mengibarkan bendera mereka yang begitu terang. Diantara ketiga kaum atas hanya kaum valkyrie yang termasuk golongan kaya untuk memanfaatkan transportasi pribadi.

Lalu, mereka menikmati kendaraan beroda, perahu untuk berleha-leha ,kami memang tak memiliki lebih dari dua kaki kami sendiri atau bahkan otopet kalau kami cukup beruntung.
Perahu-perahu itu berlayar ke arah Nafplio, sebuah kota besar yang cukup modern dan ramai dan Rose ada disana hari ini, membantu penjahit yang menjadi gurunya. Selain itu, mereka juga sering ke pasar sana saat Raja berkunjung, untuk menjajakan dagangan mereka kepada para pedagang dan bangsawan kelas atas (Red Sword, Valkyrie, Barbarous Cobra) yang mengekor di belakang para pejabat kerajaan seperti sekawanan keledai, itik. Istananya dikenal sebagai Kerajaan Panemorfi, tempat itu semestinya menakjubkan, aku tak pernah melihatnya. Aku tidak mengerti kenapa anggota kerajaan memiliki rumah kedua, apalagi lokasinya ada di ibu kota sudah begitu megah dan indah.

Raja dan kaum kelas atas sekali pun sama halnya mereka tidak bertindak berdasarkan kebutuhan. Mereka dikendalilan oleh keinginan dan apa yang mereka inginkan, mereka dapatkan.

Sebelum kubuka pintu menuju kekacauan yang biasa aku menepuk-menepuk bendera dengan lambang bintang bewarna biru, bendera ini untuk mengenang anak-anak yang sedang berjuang dimedan perang. Kebanyakan rumah mendapatkan bendera seperti ini, tapi ada juga yang mendapatkan bendera warna hitam alih-alih untuk mengenang anak-anaknya yang sudah meninggal. Ketika orang biasa meninggal maka mereka akan dibiarkan atau di kuburkan ditempat tandus sedangkan bagi orang kelas atas akan dikirimkan ke Kepulauan Elisian (tempat yang diberkahi bagi orang-orang mati)

"Manusia kelas atas kebanyakan tidak punya hati" gumamku lirih
Aneh sekali, sampai mati pun kita dipandang rendah, apa itu disebut dengan hukum alam?
"Menjijikan"

Aku melangkah menuju dapur,kulihat ibu sedang mengaduk semur di kuali sementara ayah cuman memelototinya dari atas kursi kayunya.

"Aku pulang" ucapku sambil lalu. Ayah menyahut dengan lambaian tangan, ibu dengan anggukan

"Rose masih belum pulang juga?" Tanyaku pada ibu

"Sudah, dia sedang sibuk menyulam" jawab ibu

"Adik macam apa dia, kakaknya pulang bukannya disambut, malah diam saja, kurang ajar"omelku

Kujatuhkan kantong berisi barang-barang hasil curianku ke sampingnya, membiarkan koin-koin bergemerincing seberisik mungkin

"Kurasa aku mendapatkan uang yang cukup banyak, supaya bisa membelikan kue untuk ulang tahun ayah"

Rose menyapu kantong itu, mengerutkan dahi tak setuju .Dia berusia lima belas tahun, tapi cukup pintar untuk anak seusianya

"Suatu hari nanti akan ada orang yang datang dan mengambil semua yang kau miliki" ujarnya
"Hahahah, kau tidak usah iri Rose" hardikku sambil menepuk kepalanya. Kedua tangannya terangkat ke rambut merahnya yang berkilau, merapikannya kembali.

THE QUEEN OF SWORDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang