"Dim, tolong jangan bertingkah seperti tadi." Karla mendorong pintu di belakang dengan punggungnya, hingga terdengar bunyi klik perlahan. Ia yakin, di balik pintu yang telah tertutup sempurna tersebut, rekan-rekan kerjanya pastilah bergunjing tentang dirinya dan Dimas.
"Bertingkah seperti apa?"
Karla mengedikkan bahu, menyugar rambut sambil berjalan melewati Dimas. "Nevermind."
"Karla, aku nggak suka ya kalau kamu nggak menuntaskan pembicaraan." Dimas bersedekap.
"Gue lagi nggak mood. Nggak ada tenaga buat berdebat sama elo."
"Memangnya siapa yang ngajak kamu berdebat?"
Karla menatap Dimas dengan penuh keputusasaan. Ia sudah cukup lelah menghadapi perlakuan lelaki itu kepadanya hari ini, dari pagi hingga siang. Baginya, Dimas Tjakra adalah sebuah anomali. Seakan-akan, Dimas adalah sosok pria dengan sifat yang berbeda. Sebelum dan sesudah menikah dengannya. Maka, Karla memilih untuk diam. Mengabaikan ucapan Dimas barusan.
"Listen, Karla." Dimas menggapai lengan Karla, memegang bahunya, lalu memutar tubuh perempuan itu dengan lembut. "Dalam pernikahan, komunikasi adalah hal yang sangat penting."
Karla mengembuskan napas. "Elo bertingkah seakan-akan pernikahan ini benar-benar nyata."
Kali ini, ia tengah mengenakan kemeja berbahan sutra dengan kain yang tipis, dengan ujung lengan yang digulung sebatas siku. Sentuhan Dimas barusan menghantarkan gelenyar aneh di permukaan kulitnya.
"It is."
"No, it's not."
"Lalu, yang kemarin kita lakukan itu apa? Sandiwara?"
Dimas mulai meninggikan suara. Lelaki itu memiringkan kepala, menoleh sejenak ke arah luar ruangan. Dinding ruangan Karla terbuat dari kaca buram. Yang tampak dari tempat mereka berdiri saat ini hanyalah siluet orang-orang di luar sana. Namun, siapa dapat menjamin telinga mereka tidak akan mendengar apa yang terjadi di dalam sini? Dalam urusan gosip, bahkan dinding pun punya telinga.
"Maybe." Karla memalingkan wajah. Ia enggan bersitatap dengan Dimas dalam jarak sedekat ini. "Pelanin suara lo. Gue nggak mau rekan-rekan gue menggosip tentang kita."
Ketukan pintu membuyarkan ketegangan di antara mereka. Karla belum sempat merespon ketukan tersebut, ketika pada detik berikutnya pintu mendadak terbuka.
"La, desain PIK udah kamu—" Tara, salah satu dari rekannya yang tadi berada di ruang tengah tiba-tiba muncul dari balik pintu. Perempuan dengan gaya kasual tersebut menahan kalimat, terkejut. Lalu, "Sori, aku nggak tahu kalau kalian sedang sibuk, yah, maaf. Lanjutkan apa yang sedang kalian lakukan sebelumnya."
"No, it's okay, Ra." Karla menyingkirkan tangan Dimas dari bahunya. Ia berbalik, berusaha berkonsentrasi kepada Tara. "Tadi lo nanya apa?"
"Desain rumah tinggal di Pantai Indah Kapuk, punya orang tua Pak Alex. Aku nggak bisa hubungin Pak William sampai saat ini. Masih cuti, ya?"
Karla mengangguk cepat. Orang lain tidak perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Will. Meski itu dari kalangan internal And-Design sendiri.
"Kamu yang nikah, dia yang cuti. Emang dasar bos." Tara melepaskan tawa kecil di udara. Sejenak, tawa Tara dapat mencairkan kebekuan. Lalu, "Pak Alex kemarin nelfon, nanya progressnya. Juga—nanyain kamu." Kalimat terakhir diucapkan Tara dengan nada berbisik-bisik.
"Desain awal sesuai pembicaraan sama dia sih udah selesai. Nanti biar gue hubungi Alex sendiri, Ra." Karla menjawab cepat. Ia kuatir jika Dimas masih alergi mendengar nama Alex disebut-sebut di hadapannya, setelah perdebatan kedua pria itu beberapa waktu yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan dan Nyonya Tjakra [ REPUBLISH ]
RomanceDimas Tjakra dan Karla Widjaja terjebak dalam usaha akuisisi dua perusahaan konstruksi berkedok pernikahan. Bukan pernikahan biasa, karena mereka masing-masing punya misi untuk mencuri data rahasia perusahaan pesaing. Sebuah mega proyek di Surabay...